Minggu, 13 Maret 2016

Menjadi Manusia yang Bahagia, Paus Fransiskus



MENJADI  MANUSIA YANG BAHAGIA
(Paus Fransiskus)
                                                                                                 
Alihbahasa oleh Rm. Ignatius Ismartono, SJ





Engkau mungkin memiliki kekurangan,
merasa gelisah
dan kadangkala hidup tak tenteram,
namun jangan lupa hidupmu adalah sebuah proyek terbesar di dunia ini.

Hanya engkau yang sanggup menjaga agar tidak merosot.
Ada banyak orang membutuhkanmu,
mengagumimu
dan mencintaimu.

Aku ingin mengingatkanmu
bahwa menjadi bahagia bukan berarti memiliki langit tanpa badai,
atau jalan tanpa musibah,
atau bekerja tanpa merasa letih,
ataupun hubungan tanpa kekecewaan.

Menjadi bahagia ....
adalah mencari kekuatan untuk memaafkan,
mencari harapan dalam perjuangan,
mencari rasa aman di saat ketakutan,
mencari kasih di saat perselisihan.

Menjadi bahagia ....
bukan hanya menyimpan senyum, tetapi juga mengolah kesedihan.
Bukan hanya mengenang kejayaan, melainkan juga belajar dari kegagalan.
Bukan hanya bergembira karena menerima tepuk tangan meriah, tetapi juga bergembira meskipun tak ternama.

Menjadi bahagia ....
adalah mengakui bahwa hidup ini berharga,
meskipun banyak tantangan,
salah paham dan saat-saat krisis.

Menjadi bahagia ....
bukanlah sebuah takdir, yang tak terelakkan,
melainkan sebuah kemenangan bagi mereka yang mampu menyongsongnya dengan menjadi diri sendiri.

Menjadi bahagia ....
berarti berhenti memandang diri sebagai korban dari berbagai masalah,
melainkan menjadi pelaku dalam sejarah itu sendiri.
Bukan hanya menyeberangi padang gurun yang berada diluar diri kita,
tapi lebih dari pada itu, mampu mencari mata air dalam kekeringan batin kita.

Menjadi bahagia ....
adalah mengucap syukur setiap pagi atas mukjizat kehidupan.

Menjadi bahagia ....
bukan merasa takut atas perasaan kita.
Melainkan bagaimana membawa diri kita.
Untuk menanggungnya dengan berani ketika diri kita ditolak.
Untuk memiliki rasa mantab ketika dikritik, meskipun kritik itu tidak adil.

Dengan mencium anak-anak,
merawat orang tua,
menciptakan saat-saat indah bersama sahabat-sahabat,
meskipun mereka pernah menyakiti kita.


Menjadi bahagia ....
berarti membiarkan hidup anak yang bebas, bahagia dan sederhana yang ada dalam diri kita; memiliki kedewasaan untuk mengaku "saya salah",
memiliki keberanian untuk berkata "maafkan saya".

Memiliki kepekaan untuk mengutarakan "Aku membutuhkan kamu" ;
memiliki kemampuan untuk berkata "Aku.... Dengan demikian hidupmu menjadi sebuah taman yang penuh dengan kesempatan untuk menjadi bahagia.

Di musim semi-mu, jadilah pecinta keriangan.
Di musim dingin-mu, jadilah seorang sahabat kebijaksanaan.
Dan ketika engkau melakukan kesalahan, mulailah lagi dari awal.
Dengan demikian engkau akan lebih bersemangat dalam menjalankan kehidupan.

Dan engkau akan mengerti bahwa kebahagiaan
bukan berarti memiliki kehidupan yang sempurna,
melainkan menggunakan airmata untuk menyirami toleransi,
menggunakan kehilangan untuk lebih memantabkan kesabaran,
kegagalan untuk mengukir ketenangan hati,
penderitaan untuk dijadikan landasaan kenikmatan,
kesulitan untuk membuka jendela kecerdasan.

Jangan menyerah...
Jangan berhenti menghasihi orang orang yang engkau cintai.
Jangan menyerah untuk menjadi bahagia
karena kehidupan adalah sebuah pertunjukan yang menakjubkan.

Dan engkau adalah seorang manusia yang luarbiasa!"

- Paus Fransiskus –
(milis APIK)


Sumber  : http://kontribusi-mantan2.blogspot.co.id

Jumat, 11 Maret 2016

Aborsi Pendidikan. olaeh Sidharta Susila



Artikel KOMPAS
Aborsi Pendidikan
Sidharta Susila ;   Pendidik di Muntilan
KOMPAS, 05 Maret 2016



 Gambar : dok pribadi


“Cintailah anak-anak kita.
Jadikan mereka tumbuh berkembang menjadi manusia bermartabat
dengan memilih sekolah yang dikelola dengan bermartabat pula.”
Sidharta Susila



Tahun pembelajaran baru masih beberapa bulan ke depan. Namun, geliat mendapatkan siswa baru telah gencar digerakkan. Bagaimanapun, adanya siswa adalah keniscayaan bagi kehidupan sebuah sekolah.

Meski adanya siswa sebuah keniscayaan bagi keberlangsungan sekolah, adalah tragedi apabila demi keberlangsungan hidup sekolah, siswa hanyalah angka. Pada kondisi itu, siswa tak lagi disikapi dan digulati sebagai pribadi. Ia tak lebih sarana untuk menjaga keberlangsungan hidup sekolah. Nasibnya lebih rendah daripada martabat budak: ia cuma sarana tak berjiwa.

Adalah hal yang pantas disyukuri ketika masyarakat ikut terlibat mengelola pendidikan di negeri ini. Mereka melakukannya dengan membangun sekolah swasta. Ada beragam alasan mengapa membangun sekolah swasta. Kini, kita mengenal sekolah swasta berbasis agama dan swasta nasional.

Meski demikian, kini banyak sekolah swasta mulai kekurangan siswa, khususnya sekolah-sekolah swasta di daerah-daerah. Di daerah-daerah terjadi persaingan mendapatkan siswa baru.

Layaknya persaingan, berbagai jurus digunakan untuk menggaet siswa-siswa baru. Sayangnya, jurus-jurus persaingan yang dilancarkan acap kali jauh dari hakikat pendidikan. Itu semacam jurus mabuk. Jurus itu dimabukkan oleh target yang penting mendapatkan siswa.

Jurus-jurus mabuk itu berupa: rayuan gratis uang gedung dan uang sekolah bulanan selama sejumlah waktu; membangun sarana sehingga mengesankan sekolah megah dan mewah meski sarana itu belum tentu dibutuhkan; tawaran fasilitas antar-jemput; tawaran asrama; hingga—yang paling menyedihkan dan mengkhawatirkan—memainkan muslihat isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Akibatnya, begitu banyak persaingan mendapatkan siswa baru itu tak lagi sehat, kasar, pembual lagi licik.
Namun, yang lebih tragis adalah sesungguhnya hakikat pendidikan sendiri yang ingin membentuk manusia yang tumbuh berkembang utuh bermartabat telah dihancurkan ketika dinamika pendidikan belum dimulai.
Itulah aborsi pendidikan.

Aborsi pendidikan digencarkan kepada orangtua calon siswa baru yang diintimidasi dengan isu SARA ketika hendak menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah berbasis agama yang berbeda dengan agama yang dihayati. Aborsi pendidikan juga terjadi ketika sekolah menjanjikan pendidikan yang memanjakan siswa dengan aneka fasilitas. Pendidikan yang memanjakan siswa dengan sarana-prasarana efektif menghancurkan sendi-sendi karakter pembelajar siswa.

Sekolah yang gelisah

Janji fasilitas asrama juga berpotensi mengaborsi pendidikan. Ini bisa terjadi pada sekolah yang ketika didirikan tak dirancang sebagai sekolah yang terintegrasi dengan asrama.

Aborsi pendidikan jadi nyata ketika setelah pembelajaran dimulai pengelola sekolah tak memberdayakan diri dalam pengelolaan sekolah berasrama. Pengelola sekolah seperti menangkap kejenuhan dan kewalahan begitu banyak orangtua mendampingi anaknya dan memanfaatkannya hanya demi memperoleh siswa baru. Tanpa sadar, roh hedonisme dan pragmatisme terinjeksi pada sekolah itu justru sebelum dinamika pendidikan dimulai. Masih banyak wujud aborsi pendidikan yang lain.

Semoga para orangtua lebih sadar akan jebakan muslihat pencarian siswa baru bagi anak-anaknya. Sekolah-sekolah yang mencari siswa baru dengan jurus mabuk yang membabi buta itu adalah sekolah yang dikelola dengan gelisah. Dalam kegelisahan itu, mereka akan berjuang melindungi siswanya, bukan demi mendidik, tetapi hanya demi angka. Sebab, pada setiap siswa menjanjikan angka rupiah dari negara yang luar biasa.

Sekolah yang memainkan isu SARA dalam merekrut siswa baru juga berdinamika serupa. Muslihat menyelamatkan jiwa dalam jalur SARA menjadi alasan untuk mengikat siswa. Lalu mereka membangun benteng untuk memisahkan dan mengeksklusifkan. Dinamika pembelajaran pun kerap kali dirancang ekstrem dan eksklusif.

Tidakkah dengan cara semacam ini anak-anak kita sedang dikerdilkan, diciutkan horizon hidupnya, dan efektif memasukkan mereka dalam tempurung sempit hidupnya? Anak-anak kita tak lagi dididik dalam kemerdekaan dan kebermartabatannya. Anak-anak kita hanyalah sarana penuntas melepas dera kegelisahan pengelola sekolah.

Waspadalah! Cintailah anak-anak kita. Jadikan mereka tumbuh berkembang menjadi manusia bermartabat dengan memilih sekolah yang dikelola dengan bermartabat pula. ●
SIDHARTA SUSILA, PENDIDIK DI MUNTILAN
 Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Aborsi Pendidikan".



Pengajaran Menyelamatkan Kehidupan,Oleh Sidharta Susila



Artikel KOMPAS
Pengajaran Menyelamatkan Kehidupan
Sidharta Susila  ;   Pendidik di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah
                                                      KOMPAS, 30 Januari 2016




"Perjumpaan wajah bisa menajamkan empati hingga menumbuhkan tanggung jawab moral atas nasib sesama.”

Emanuel Levinas,

             


                                                                  

...Resolusi ini membantu anak-anak kita menjadi tuan atas nasibnya, 
bukannya hanyut dalam derasnya laku egoisme, tunamoral serta empati 
karena rapuhnya perjumpaan.



Bersama tapi tak berhubungan. Itulah tema salah satu lukisan pada pameran lukisan di Bentara Budaya Yogyakarta, beberapa tahun yang lalu. Lukisan itu memotret peran teknologi dalam kehidupan.

Pada lukisan itu digambarkan sekelompok orang duduk bersama. Masing-masing asyik dengan ponselnya. Mereka bersama, tetapi tak saling terhubung. Masing-masing terhubung dengan seseorang atau sesuatu entah di mana. Itu potret teralienasi dalam kebersamaan. Tragis!

Kondisi hidup yang dipotret pelukis itu semakin kita rasakan. Teknologi komunikasi yang memuja efisiensi dan efektivitas merapuhkan perjumpaan fisik. Padahal, belajar dari Emanuel Levinas, perjumpaan wajah bisa menajamkan empati hingga menumbuhkan tanggung jawab moral atas nasib sesama.

Ketika perjumpaan fisik merapuh, hakikat komunikasi pun runtuh. Komunikasi sepihak tanpa perjumpaan wajah meminimalkan hingga menihilkan klarifikasi. Perlahan tapi pasti kita belajar untuk tidak bertanggung jawab atas apa yang kita wartakan. Pun bila warta itu berpotensi menghancurkan kehidupan. Hasrat menggosip seperti menemukan ruangnya.

Kondisi hidup hari ini akibat ketidakmampuan kita mengelola dampak teknologi pernah menggelisahkan Albert Einstein. Ia bertutur, "I fear the day that technology will surpass our human interaction. The world will have a generation of idiots." Adakah kini kita sedang melahirkan generasi dungu, tuna-empati, dan bebal tanggung jawab moral? Apa yang bisa diajarkan kepada anak-anak kita demi menyelamatkan kehidupan mereka?

Ragam kegelisahan

Kondisi relasi manusiawi di atas hanya satu dari banyaknya dampak kegagapan kita mengelola dinamika hidup akibat sinergi teknologi dan bisnis yang kian menderas. Paus Fransiskus adalah satu dari banyak tokoh dunia yang menyadari terancamnya harmoni dan keberlanjutan hidup yang bermartabat akibat gagap mengelola dinamika itu.

Pada banyak perjumpaan, beliau menawarkan sejumlah resolusi. Terhadap karut-marut pola relasi antar-manusia, beliau mengajarkan untuk berhenti menggosip, dan memberikan waktu serta perhatian kepada orang lain. Kita diajak untuk berani berjarak dengan sarana komunikasi dan duduk bersama.

Paus sadar dunia ini sedang diancam oleh kebencian yang ditebar subur oleh komunikasi sepihak tak bertanggung jawab. Salah satunya perilaku menggosip.

Penebar kebencian membiarkan konsumen wartanya dalam kebingungan hingga akhirnya tersesat. Kecurigaan karena informasi tak utuh dan nihil klarifikasi sering menjadi target. Maka,
Paus juga mengajak untuk  tetap berteman dengan mereka yang tidak setuju dengan kita dan berhenti menghakimi sesama.
Dengan cara ini, ruang curiga karena pembodohan diciutkan.

Akibat masifnya penjejalan iklan yang canggih, hasrat konsumsi kita kian menggila. Pola konsumsi cenderung beralih dari butuh ke sekadar ingin. Dampak pola konsumsi ini sungguh memprihatinkan. Sikap ugahari dan hidup bersahaja tak lagi dihayati. Lihatlah betapa gampang kita membuang makanan. Padahal, teknologi komunikasi mengabarkan begitu banyak orang di belahan dunia lain yang kelaparan. Gambaran lain atas realitas ini bisa diunduh dari Youtubedengan menggunakan kata kunci "di balik makanan sisa".

Atas realitas itu,
Paus mengajak untuk makan secukupnya dan menghabiskan makanan yang telah diambil, berbelanja barang yang sederhana atau hidup bersahaja, dan menjumpai mereka yang miskin.
Sesungguhnya membuang makanan dengan percuma adalah wujud merampok hak orang miskin yang kelaparan. Perjumpaan dengan orang miskin akan menajamkan empati dan tanggung jawab moral kita pada sesama. Maka, program tinggal di dan bersama kaum miskin pada banyak sekolah itu pantas dilanjutkan demi kualitas anak didik, juga demi menyelamatkan kehidupan.

Perlu langkah nyata

Agaknya, ada baiknya kita mengajarkan resolusi semacam ini dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam dunia pendidikan. Resolusi ini bisa dihayati sebagai upaya nyata anak-anak kita terlibat merawat dan menyelamatkan bumi ini, bumi mereka.

Tawaran resolusi ini memang remeh. Itu ajaran sederhana. Tetapi, resolusi ini praktis dan bisa kita ajarkan kepada anak-anak kita. Resolusi ini membantu anak-anak kita menjadi tuan atas nasibnya, bukannya hanyut dalam derasnya laku egoisme, tunamoral serta empati karena rapuhnya perjumpaan. Resolusi ini adalah langkah nyata melibatkan anak-anak kita untuk merawat dan menyelamatkan kehidupan ini, kehidupan mereka. ●



SIDHARTA SUSILA PENDIDIK DI MUNTILAN, MAGELANG, JAWA TENGAH
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Pengajaran Menyelamatkan Kehidupan".