Selasa, 05 Januari 2016

Maaf



Maaf
Oleh : HERRY TJAHJONO
Kompas, Sabtu, 12 Desember 2015





 Gambar : Kompas
 
Salah satu kompetensi terpenting dari seorang pemimpin, meski kelihatan sepele, adalah kompetensi atau kemampuan maaf-memaafkan.



Tanpa kemampuan yang satu ini, jangan harap seorang pemimpin bisa jadi pemimpin hebat atau besar. Sebuah organisasi (apa pun) akan menjadi besar dan bermartabat jika pemimpinnya memiliki kompetensi maaf-memaafkan ini secara memadai. Indonesia, sayangnya, sangat miskin pemimpin yang memiliki kompetensi atau kemampuan maaf-memaafkan ini. 

Secara garis besar ada empat kondisi yang menentukan dimensi kemampuan maaf-memaafkan ini. Kondisi pertama, jika seseorang (khususnya pemimpin, organisasi) menyakiti orang atau pihak lain, tetapi dia bersikeras tidak mau minta maaf, baik dia merasa bersalah maupun tidak. Orang atau pemimpin semacam ini adalah pemimpin yang patologis. Pemimpin yang patologis akan menghasilkan organisasi dan anggota yang patologis pula. Contoh paling relevan adalah gonjang-ganjing kasus yang dipelesetkan sebagai kasus "papa minta saham". 

Setidaknya sampai tulisan ini dimuat, belum terucap satu kata maaf pun dari si pelaku terkait substansi kasusnya. Padahal, secara moral perilakunya itu sudah menyakiti hati rakyat Indonesia. Kalaupun dia pernah mengucapkan kata maaf, itu katanya untuk kegaduhan yang ditimbulkan oleh kasus tersebut. 

Permintaan maaf itu tidak bersifat substansial, tetapi sensasional belaka. Ungkapan selanjutnya yang muncul malahan: "merasa dizalimi"; "salah saya apa?"; dan seterusnya. Dan, kita tahu, sampai saat ini, eksesnya menjadi patologis pula pada organisasi yang dipimpinnya, terkait kasus tersebut, termasuk mahkamah yang berkewajiban mengusut dan membereskannya. Pemimpin pada dimensi ini biasanya disebut sebagai pemimpin yang patologis. 

Kondisi kedua, jika seseorang (pemimpin, organisasi) menyakiti orang lain dan dengan mudah dia meminta maaf pada orang atau pihak yang disakitinya, baik dia merasa bersalah maupun tidak. Namun, permintaan maaf pada dimensi ini juga tidak bersifat substansial, melainkan hanya bersifat normatif sebab setiap kali habis meminta maaf, dia akan cenderung mengulangi perilaku atau kesalahan yang sama dengan mudahnya pula. 

Dimensi kepemimpinan dan organisasi semacam ini juga mudah dijumpai di negeri ini. Salah satu contoh konkret adalah maskapai yang sudah berulang-kali terlambat jadwal penerbangannya dan tentu saja menyakiti konsumen/masyarakat; lalu dengan mudahnya setiap kali minta maaf- dan sekaligus sesering itu pula melakukan kesalahan serupa. Susah sekali memperbaiki diri. Pemimpin atau organisasi semacam ini biasanya mengalami inersia, kelembaman. Pemimpin semacam ini disebut sebagai pemimpin normatif. 

Kondisi ketiga, jika seseorang (pemimpin, organisasi) menyakiti orang atau pihak lain ia merasa bersalah, lalu dengan (relatif) tulus meminta maaf pada orang yang disakitinya. Salah satu indikasi ketulusan itu adalah pada spontanitasnya meminta maaf dan kecenderungannya tidak mengulangi kesalahan serupa.


 "Hanya pemimpin sehat dan pemimpin besar (sangat sehat) yang mampu membangun masa depan menjadi lebih kuat 
bagi generasi mendatang."




 Contoh paling relevan

Contoh paling relevan adalah Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Salah satunya adalah ketika dia secara spontan minta maaf kepada Badan Pemeriksa Keuangan karena telah marah akibat tidak diizinkan merekam pemeriksaan dirinya (baca: Pemeriksaan Tanpa Dokumentasi, Ahok Berdebat dengan Pejabat BPK, Kompas.com, 23-11-2015). 

Sepanjang yang kami ketahui, Basuki sehabis minta maaf atas sebuah kesalahan cenderung tidak mengulanginya lagi. Pemimpin yang memiliki kompetensi atau kemampuan "maaf-memaafkan" pada dimensi ini disebut sebagai pemimpin yang sehat.Setidaknya organisasi yang baik memerlukan pemimpin sehat semacam ini, apalagi untuk sebuah organisasi yang kompleks, seperti negara kita. 

Kondisi keempat, jika seseorang atau pemimpin bukannya menyakiti orang lain, tetapi justru dia yang disakiti oleh orang atau pihak lain. Pada kondisi ini, malah dia yang "meminta maaf" dalam bentuk memaafkan orang yang menyakitinya. Tentu tidak mudah menemukan pemimpin pada dimensi ini, tetapi bukannya tidak ada. Pemimpin dengan dimensi ini adalah pemimpin yang sangat sehat. 

Salah satu contoh pemimpin yang sangat sehat ini yang bahkan mengilhami dunia adalah Nelson Mandela (yang dipenjara selama 27 tahun). Dunia terpesona menyaksikan pertunjukan kepemimpinan dimensi tertinggi yang bersejarah di Afrika Selatan. Itulah momen tatkala Mandela baru keluar dari penjara. 

Ketika ditanya apakah ia masih menyimpan dendam dan kemarahan atas semua kekerasan, penghinaan, penganiayaan yang dilakukan rezim, dan lawan politiknya, dengan tenang dia menjawab: "Memang ada rasa marah, bahkan takut, karena kehilangan kebebasan sekian lama, tetapi jika saya melangkahkan kaki ke luar dari penjara dan tetap menyimpan dendam, itu berarti saya masih terpenjara oleh mereka. Karena saya ingin bebas sepenuhnya, maka saya tinggalkan rasa marah itu di belakang dan memaafkan semua yang terjadi.!"

 Selanjutnya-sejak saat itu- masa depan negeri di bawah kepemimpinan Mandela itu berubah menjadi lebih kukuh dan kuat. Pemimpin dengan kompetensi atau kemampuan "maaf-memaafkan", dimensi inilah yang disebut pemimpin besar.Sekali lagi, dari konteks kompetensi/kemampuan maaf-memaafkan ini, kita memerlukan sebanyak mungkin pemimpin sehat dan pemimpin sangat sehat di negeri ini. Hanya kedua dimensi kepemimpinan itulah yang mampu menjanjikan perubahan masa depan yang lebih kukuh dan kuat bagi generasi mendatang.

 Pemimpin pada dimensi sehat dan (terutama) dimensi sangat sehat akan mudah memaafkan orang lain. Secara kontekstual keyakinan akan perubahan masa depan yang lebih sehat dan kuat (karena peran pemimpin sehat dan sangat sehat) mendapatkan landasannya pada sebuah ungkapan bijak yang menyimpan mutiara kebenaran: It takes a strong person to say sorry, and an even stronger person to forgive. Hanya pemimpin sehat dan pemimpin besar (sangat sehat) yang mampu membangun masa depan menjadi lebih kuat bagi generasi mendatang.



HERRY TJAHJONO Terapis Budaya Perusahaan, Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Desember 2015, di halaman 7 dengan judul "Maaf".



Senin, 04 Januari 2016

Tangkap maling di kampung maling



Tangkap Maling di Kampung Maling
  Sidharta Susila  ;  Pendidik, Tinggal di Muntilan-Magelang
                                                       KOMPAS, 04 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Semasa kecil, di daerah tempat tinggal penulis, ada satu kampung yang dijuluki kampung maling. Generasi ke generasi menuturkan bahwa pekerjaan orang-orang di kampung itu mencopet dan mencuri atau maling.

Setiap generasi seperti punya spontanitas mengajarkan ihwal kampung maling itu. Pertama-tama bukan untuk membangun stigma, melainkan lebih sebagai iktikad baik untuk mengajarkan sikap waspada dan hati-hati jika bersama orang-orang dari kampung maling.

Masih lekat dalam ingatan, beberapa kali ketika penulis naik kendaraan umum, lalu ada sejumlah orang dari kampung maling ikut menaiki angkutan yang sama, kami saling memberi kode untuk mulai waspada. Kode itu bisa dengan isyarat mata. Beberapa orang menyenggol anaknya agar segera waspada. Kami yang masih kanak-kanak sudah paham dan tahu sikap apa yang harus segera dibangun ketika orang dari kampung maling ada di antara kami.

Ketika musim panen padi tiba, orang-orang dari kampung maling juga sering ikut mencari gabah sisa dari batang padi yang sudah dirontokkan padinya. Ini pekerjaan memulung padi. Kami menyebutnya ngasak. Terhadap para pengasak dari kampung maling, orang-orang di kampung kami sering memberikan pengawasan khusus.

Orang-orang dewasa di kampung kami sering mengajarkan bahwa orang dari kampung maling sering mencuri padi saat berjalan menyusuri pematang sawah yang padinya telah menguning. Caranya, mereka berjalan berombongan; lebih kurang sepuluh orang setiap rombongan. Sambil terus berjalan menyusuri pematang sawah, tangan mereka meraih bulir-bulir padi, lalu segera dimasukkan ke dalam bakul yang di gendongnya. Dengan cara seperti itu, aksi mencuri padi tak akan kelihatan. Ini persis aksi mencopet.

Begitulah orang-orang di kampung kami mengajarkan kepada generasi di bawahnya ihwal orang-orang di kampung maling. Karena dituturkan turun-temurun dalam pesan dan dengan cara yang sama, demikian kami yakini bahwa memang kampung maling dihuni para pencopet dan maling.

Tragedi "Petrus"

Keyakinan bahwa kampung maling memang kampungnya para maling dan pencopet semakin kukuh ketika pada episode tragedi "Petrus" (penembak misterius) pada 1980-an ada seorang korban penembakan "Petrus" yang diletakkan melintang di jalan utama orang kampung maling untuk menuju ke desa lain. Belakangan, korban "Petrus" itu diketahui seorang maling dari kampung lain.

Orang-orang pada 1980-an belajar bahwa tempat meletakkan korban penembakan "Petrus" sering kali menjadi pesan simbolis. Pada korban "Petrus" yang diletakkan di jalan utama kampung maling itu kami pahami sebagai pesan untuk mengingatkan kenekatan orang-orang di kampung maling.

Saat itu kami memang frustrasi dengan perilaku para maling. Mereka nekat. Aksi para garong yang brutal juga merebak di mana-mana. Ketika suatu kali orang kampung kami mendapati maling yang sedang beraksi, lalu maling itu dikejar beramai-ramai, maling itu lari menuju hamparan sawah yang bersebelahan dengan kampung maling. Kalau sudah begitu, kami tak akan melanjutkan pengejaran. Kami tahu mereka sudah menuju ke habitatnya: kampung maling.

Mengejar maling sampai ke kampung maling kami yakini hanya kesia-siaan, bahkan bisa menjemput sial. Di kampung maling, para maling saling melindungi. Tak akan pernah bisa menangkap maling di kampung maling. Pun para polisi. Kelihatannya waktu itu aparat juga kehabisan akal untuk menghentikan aksi para maling. Barangkali karena itu pulalah seorang maling atau mantan maling yang mati ditembak "Petrus" diletakkan telentang melintang di jalan keluar utama kampung maling.

Apa yang terjadi hari-hari ini mengingatkan penulis tentang ihwal kampung maling. Aneka kejahatan diungkap. Pelaku kejahatan ditangkap. Bukti-bukti tindak kejahatan pun lengkap didapat. Namun, si pelaku kejahatan licin dijerat.

Sementara itu, sejumlah orang pasang badan membela tersangka pelaku kejahatan. Sejumlah media cetak dan elektronik lihai membangun kisah membolak-balik nalar dan logika dengan menjejali masyarakat kontes muslihat para pakar. Akibatnya, masyarakat yang semula melihat gamblang tindak kejahatan mulai kabur dan ragu akan penglihatan serta pemahamannya semula. Pelaku kejahatan pun berubah menjadi pahlawan. Atau minimal diloloskan. Ini sejenis metode pembelajaran canggih tentang ihwal negeri maling.

Jangan-jangan kita sedang tinggal di negeri maling. Kalau benar, pastilah sulit menangkap maling di negeri maling. Paling sial anak cucu kita. Saat bergaul dengan bangsa lain, mereka akan mendengar perkataan, "Hati-hati, kita sedang ada bersama orang dari negeri maling." ●