TRY
OUT 3
SMP
TARAKANITA GADING SERPONG
TAHUN
2014 – 2015
Revolusi
Mental Guru
Mohammad Abduhzen ; Direktur
Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang
PB PGRI
|
BUKANLAH bermaksud latah
berbicara revolusi mental guru terkait implementasi ide Presiden Joko Widodo
yang kian ramai dibicarakan: revolusi mental bangsa. Guru adalah faktor
berpengaruh besar terhadap hasil pembelajaran—John Hattie (2003) dari
Selandia Baru mengatakan, pengaruh guru 30 persen—sehingga untuk menyukseskan
revolusi mental melalui pendidikan, mentalitas guru perlu diubah
terlebih dahulu.
Mentalitas guru memang harus
diubah, ada ataupun tidak ada gagasan revolusi mental dari Presiden Joko
Widodo.
Mengapa?
Tiga
alasan
Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, hasil riset
Profesor Beeby awal 1970-an (bukunya terbit tahun 1975; Pendidikan Indonesia)
menyimpulkan bahwa persoalan kronis pendidikan kita (baca: Indonesia) di
antaranya praktik kelas yang membosankan. Guru-guru mengajar dengan latar belakang
pengetahuan dan keterampilan metodik yang minimal sehingga aktivitas kelas
bagaikan ritual. Sedikit sekali, kata Beeby, sekolah di Indonesia membantu
menumbuhkan potensi seorang murid. Dan, pengaruh sekolah yang menjemukan
serta sangat tidak imajinatif tersebut tetap terasa ketika seseorang menjadi
dewasa dan atau menjadi pemimpin di masyarakat.
Kemampuan guru dewasa ini tidak lebih baik.
Berbagai penilaian yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) menunjukkan kompetensi pedagogi dan profesional guru rata-rata
rendah. Hasil uji kompetensi awal (UKA) 2012 memperlihatkan hanya 42,25
(skala 100) yang dinyatakan kompeten; sementara nilai uji kompetensi guru
(UKG) 2014 rata-rata 47,6. Keadaan ini akan terus berlangsung apabila tidak ditangani
secara tepat dan serius.
Kedua, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 1 ayat (1)—untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya—menuntut perubahan mental guru sebagai pusat
dan sumber utama pembelajaran ke murid sebagai pusat dengan pembelajaran
siswa aktif.
Ketiga, profesionalisme guru yang seyogianya
meningkatkan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan mutu guru, telah
mengalami simplikasi makna sebagai ”sertifikasi” yang substansinya sebatas
tunjangan profesi atau populer disebut sebagai ”tunjangan sertifikasi”. Pada
sisi lain atas nama profesionalisme, guru dituntut melakukan tugas secara
spesialisasi yang ditandai linieritas sehingga terjadi pula pereduksian peran
dan tanggung jawab guru sebatas tugas mengajar mata pelajaran yang diampunya.
Walhasil, berdasarkan hasil riset Bank Dunia
2009-2011, upaya profesionalisme guru dengan sertifikasi portofolio selama
ini tidak berimplikasi pada peningkatan kualitas guru dan kualitas hasil
belajar murid. Kegiatan itu hanya memperbaiki ekonomi guru dan meningkatkan
minat menjadi guru, tetapi tidak berbanding lurus dengan peningkatan
profesionalisme dan atau kinerja guru.
Selain itu, profesionalisme guru mulai menunjukkan
dampak buruk berupa gejala mental materialistis dan spesialistis yang perlu
diantisipasi. Mentalitas guru perlu dikukuhkan agar tetap dalam paradigma
pengabdian.
Membangun
mentalitas guru
Secara sederhana, perbaikan kinerja guru dapat
dilakukan melalui pendekatan motif dan insentif. Pemerintah telah berusaha
memberikan insentif melalui tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok
bagi guru tersertifikasi. Namun, pemerintah sejauh ini belum mengelola motif
secara efektif. Pendidikan dan
Latihan Profesi Guru (PLPG) dan UKA/UKG yang
mengawali atau mengikuti proses sertifikasi portofolio lebih bersifat
formalitas dan tidak didesain secara cermat.
Kegiatan profesionalisme guru lebih berkutat pada
hal administratif, tidak diproses agar mengikat guru secara batin.
Profesionalisme guru mendatang, senyampang pemerintah mengusung ide revolusi
mental, harus menyentuh aspek mental dalam beragam dimensinya.
Pertama, membangun dan memperkuat paradigma
pengabdian. Gerakan profesionalisme guru hendaknya selain memberikan
kemahiran dan kesejahteraan, juga harus memperkuat hubungan logis antara
pilihan profesi dan dasar-dasar religius yang ia yakini. Berkarier sebagai
guru agar diniatkan sebagai pemenuhan atas tujuan penciptaan, yaitu
pengabdian pada Tuhan melalui kerja kemanusiaan.
Guru, kata Al-Ghazali (Ihya’ Ulumuddin, 1979:77),
berperan menjalankan tugas kekhalifahan, menyempurnakan hati dan jiwa makhluk
termulia di muka bumi, yakni manusia. Jadi, profesi guru adalah tugas
profetik. Faktor religiositas jika dikelola dengan benar dapat menjadi sumber
motivasi positif yang tiada kering bagi guru Indonesia. Tanpa pemaknaan
ukhrawi, kiranya para guru sukar menjawab pertanyaan, ”Mengapa saya harus
jadi guru yang baik?”
Kedua, membangun mental profesional, yaitu bekerja
sekeras-kerasnya untuk menjadi yang terbaik, memberi yang terbaik, sehingga
berhak mendapatkan imbalan sebaik-baiknya. Jiwa profesional harus
dibangkitkan dari dalam diri dan tidak dapat digantungkan semata pada upaya
eksternal dari pihak lain seperti dengan insentif atau dengan pelatihan yang
dipenuhi ceramah.
Pelatihan motivasi dan kinerja guru harus secara
dinamis menumbuhkan rasa tanggung jawab melalui pelibatan peserta berdasarkan
prinsip-prinsip andragogi. Setiap pelatihan harus dirancang sebagai titik
tolak atau mengecas kembali spirit guru agar melakukan penyempurnaan mandiri
yang sinambung. Guru—meminjam ungkapan Iwan Pranoto, Guru Besar ITB—harus
dibuat kasmaran dengan tugasnya.
Bangun
suasana dialogis
Ketiga, mengubah pola pikir guru tentang murid dan
pembelajaran. Murid adalah manusia multipotensi yang perlu ditumbuhkembangkan
secara sehat dan dinamis melalui suasana dialogis. Menciptakan suasana terbuka
dalam pembelajaran sangat penting agar anak tumbuh dan mekar menurut natur
dan kulturnya. Oleh sebab itu, kata Ki Hadjar Dewantara, guru harus ngemong
seperti tecermin dalam prinsip ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun
karso, tut wuri handayani. Untuk itu mental guru harus diubah dari aktor jadi
fasilitator yang mampu mengubah kelas pasif dan duduk manis menjadi aktif
serta dialogis.
Keempat, mendorong guru agar bekerja berdasarkan
teori dan empirik serta peraturan dan etika profesi yang berlaku. Dengan
profesionalisme, menurut Tilaar (2012), status guru mengalami demitologisasi.
Mitos guru sebagai manusia paripurna, pekerja sosial yang tak mengharapkan
imbalan, dan tabu berpolitik mengalami rasionalisasi. Sikap dan perilaku guru
harus didasarkan pada prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan kaidah-kaidah
moral.
Oleh sebab itu, UU No 14/2005 tentang Guru dan
Dosen mewajibkan setiap guru menjadi anggota organisasi profesi yang
berfungsi untuk memajukan profesi dan memperjuangkan haknya. Maka, pemerintah
dan/atau pemerintah daerah seharusnya bermitra dan memfasilitasi organisasi
profesi guru.
Kelima, menyadarkan guru agar menghindari efek
buruk profesionalisme, yaitu sikap materialistis dan spesialistis berlebihan.
Guru seyogianya secara moral bertanggung jawab atas pembimbingan murid tidak
hanya dalam mata pelajaran yang diampunya, tetapi juga meliputi seluruh
perkembangan dan perilaku murid. Untuk itu, sesuai dengan paradigma
pengabdian, guru harus memiliki jiwa penolong sehingga tidak setiap gerak
geriknya menuntut pembayaran.
Akhirulkalam, revolusi mental diperlukan agar guru
kita mulia, sebagaimana larik lagu ”Pahlawan Tanpa Jasa” yang kini sudah tak
populer lagi itu: ”... bagai pelita dalam kegelapan, embun penyejuk dalam
kehausan....” ●
|
Retret siswa-siswi SMP Tarakanita gading Serpong, Senin-Jumat, 19 – 23 Januari 2015, di Villa Bukit Pinus, Cikretek, Ciawi. Jawa Barat |