Tajuk Rencana Kompas
Sedikitnya
Tokoh Intelektual
Tajuk
Rencana Kompas, Selasa, 24 Juni 2014
gambar : rumahfidzkiaimargogan.com
“Dalam dunia akademik, menulis, memublikasikan,
dan menulis buku sesuai
ilmu mereka
adalah keniscayaan.”
gambar : endibiora.blogdetik.com
MINIMNYA tokoh intelektual Indonesia yang
mendalami keilmuan yang disampaikan pakar ilmu politik dari Amerika Serikat,
Jeffrey A Winters, meletupkan keprihatinan kita.
Letupan itu "lagi-lagi" mengingatkan tentang "gagalnya" nafsu besar melipatgandakan jumlah doktor. Terjadi ketidakseimbangan jumlah dan mutu lulusan perguruan tinggi, dalam hal ini S-3 (doktor). Tidak hanya ada ketimpangan antara rasio jumlah penduduk dan sarjana (S-1), lebih parah lagi faktor kemampuan pemegang gelar kesarjanaan.
Hasil
pemikiran dan riset, salah satu kriteria kesarjanaan lulusan S-2 dan S-3 PT-PT
di Indonesia, kurang "bunyi" di tingkat dunia. Hasil mereka tak
pernah dimuat dalam jurnal-jurnal keilmuan. Buku, salah satu hasil riset,
minim.
Kita tentu sedih ketika seorang doktor bahkan
profesor doktor seumur-umur tidak menulis buku.
Jumlah
ilmuwan atau kaum intelektual kita, taruhlah sebutan itu bisa ditaruhkan pada
mereka yang bergelar doktor, setiap tahun naik. Jumlahnya meningkat terus,
tetapi tidak sebanding dengan kolega mereka yang layak disebut intelektual.
Belum
lagi gejala belakangan ini.
Ilmuwan,
lagi-lagi kita taruhkan sebutan ini begitu saja dengan cendekiawan atau yang
bergelar doktor, lebih gemar memasuki bidang non-keilmuan seperti bisnis,
politik, atau dunia hiburan. Ilmuwan itu
seharusnya lebih berkecimpung di bidang-bidang nonpragmatis dan bersikap
apolitis praktis.
Upaya
perbaikan terus dilakukan, di antaranya lewat akreditasi dan pengawasan, atau
kini dalam tahap wacana PT di bawah satu kementerian. Itu belum cukup.
Sebaiknya bukan hanya disertasi/tesis, tetapi juga keharusan memperkaya
keilmuan lewat riset. Begitu juga gelar profesor yang dipersyaratkan angka
kredit 850-1.050 perlu ditindaklanjuti keharusan para "baron" ilmu
itu melakukan riset dan memublikasikannya dalam jurnal ilmiah.
Gelar
doktor dan gelar profesor sama-sama gelar terhormat di dunia pendidikan tinggi.
Di Indonesia dianggap sebagai capaian puncak. Dalam setiap pengukuhan, selalu
dikatakan bukan akhir, melainkan awal, tetapi kenyataannya gelar itu lebih
direpresentasikan dalam mengajar tidak juga dalam riset dan pengabdian
masyarakat.
Kalau
seumur-umur para "baron PT" itu tak satu pun menulis buku, tak satu pun
menghasilkan riset, gelar ilmuwan atau cendekiawan tidak layak lagi.
Dalam dunia
akademik, menulis, memublikasikan, dan menulis buku sesuai ilmu mereka adalah
keniscayaan.
Tidak
dialokasikannya dana cukup penerbitan jurnal, adanya "predator
jurnal" di dunia internasional, tercemarnya jati diri kejujuran dalam
kasus-kasus plagiat, jangan jadi pembenar minimnya ketokohan intelektual.
Kita
berterima kasih kepada Prof Winters yang melecutkan merosotnya mutu kelimuan
para doktor kita!
Salah satu PR kita, pun pemerintahan baru!
gambar : rubrikbahasa.wordprss.com
Diambil dari : Kritik bagi pemimpin,
doa-bagirajatega.blogspot.com
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007426996Powered by Telkomsel BlackBerry®