Penulis : Agus Noor, Esais-prosais
Kompas
,Selasa, 24 Juni 2014
Gambar : andikhardiyanto.wordpress.com
“Rakyat yang waras adalah rakyat yang
masih mencoba mempertahankan kesadaran hidup dan kewaspadaan daya pikirnya.”
BERUNTUNGLAH negara ini memiliki rakyat yang waras.
Bahkan, jika diungkapkan dengan hiperbolis, rakyat yang waras itulah
satu-satunya keberuntungan yang masih dimiliki negara kita. Sebab, sumber daya
alam yang melimpah, keanekaragaman hayati, dan kekayaan kebudayaan sudah lama
diabaikan negara.
Telah sekian lama negara tidak mampu melindungi
potensi-potensi yang sesungguhnya sangat berharga itu. Bila Indonesia tidak
benar-benar menjadi negara gagal (failed states) dengan situasi seperti yang
terjadi di Somalia, Chad, Zimbabwe, atau Kongo, maka itu bukanlah karena negara
telah bekerja efektif mengatasi indikasi bermacam kegagalannya, tetapi lebih
karena rakyat yang waras itu terus memberdayakan dirinya, tanpa merasa perlu
tergantung pada negara.
Sampai-sampai ada ungkapan yang diekspresikan
melalui mural tembok kota:
"teruslah bekerja, jangan berharap pada negara". Karena negara
tak hanya sering kali absen saat rakyat membutuhkan perannya, tetapi negara
memang terlalu direpoti oleh urusan-urusan politik, birokrasi yang tak efisien,
sampai kasus-kasus korupsi yang tak berkesudahan. Ada anekdot tiap kali terjadi
bencana: yang pertama kali sampai ke tempat bencana bukanlah pemerintah (sebagai
representasi negara), melainkan mi instan.
Memelihara akal sehat
"Waras" adalah ungkapan dalam bahasa Jawa, yang tidak hanya bermakna 'sehat', tetapi juga 'tetap terjaganya kesadaran' ketika situasi dan kondisi sudah terjangkiti kegilaan. Rakyat yang waras adalah rakyat yang masih mencoba mempertahankan kesadaran hidup dan kewaspadaan daya pikirnya. Atau dalam ungkapan pujangga Ronggowarsito, rakyat yang waras ialah mereka yang tetap eling lan waspada. Penyair-drawaman WS Rendra menyebut kewarasan itu sebagai daya hidup rakyat yang tetap menjaga akal sehat.
Rakyat yang waras itulah yang kini menjadi benteng
terakhir yang masih membuat bangsa ini tidak terseret dalam kecamuk kerusuhan
berkepanjangan, sebagaimana terjadi di banyak negara gagal. Kekerasan dan
intimidasi terhadap minoritas agama tak berubah jadi kerusuhan massal yang
mengganggu disintegrasi, tak menjadi perang dendam yang berskala meluas. Bukan
lantaran negara memang berhasil melindungi kaum minoritas dalam menjalankan
keyakinan beribadatnya, melainkan karena rakyat yang waras tidak mau terjebak
dalam konflik yang justru merugikan mereka sendiri.
Bayangkan, padahal bila mau, kaum minoritas yang
diperlakukan tidak adil (dan ketidakadilan itu terus dibiarkan oleh negara)
bisa mengorganisasi perlawanan bawah tanah atau aksi-aksi radikal untuk
menentang hegemoni. Tapi itu tidak dilakukan. Membalas kekerasan dengan
kekerasan bukanlah jalan yang dipilih karena rakyat yang waras mampu bersikap
rasional, dan karena itu tidak terjadi konflik yang mengguncang stabilitas
negara.
Di dunia usaha, birokrasi perizinan dan peraturan yang
tumpang tindih justru membebani ongkos produksi; suatu indikasi betapa negara
sebenarnya justru merepoti para pengusaha, sebagaimana banyak dikeluhkan
pengusaha. Seorang kawan yang menggeluti usaha kecil menengah bahkan
berkelakar: "Kalau saja tak ada negara, ekonomi kita justru akan lebih efektif untuk
mengembangkan usaha. Negara hanya ngerepotin iklim usaha."
Sementara prestasi di bidang seni budaya, yang
ditandai pencapaian-pencapaian karya kreatif yang diakui dunia, lebih karena
ikhtiar pribadi para senimannya, bukan karena dukungan negara. Dalam film,
misalnya, karya-karya sineas kita kerap mendapatkan penghargaan di festival
dunia meski pada kenyataannya pajak membuat film di negara ini jauh lebih besar
daripada pajak impor film. Mereka yang bergelut di industri kreatif memang
sudah lama tak terlalu berharap banyak pada negara. Boleh dibilang, orang-orang
kreatif, tanpa negara pun, tetap terus berkarya. Di bidang lingkungan hidup,
kita menemukan banyak upaya pelestarian alam yang dilakukan oleh individu-individu
atau kelompok masyarakat yang bekerja secara swadaya.
Semua itu memberi ilustrasi betapa pada banyak hal
sesungguhnya rakyat yang waras terus melakukan apa pun yang bisa mereka
kerjakan sehingga peran-peran yang semestinya mendapat dukungan atau
perlindungan negara bisa terus diberdayakan. Ini bukan semata kekuatan sipil
(civil society) yang memiliki kesadaran untuk membantu peran negara, tetapi
juga kenyataan faktual betapa negara—sebagaimana digagas Ernest Renan,
yakni negara yang dibentuk berdasarkan kesepakatan untuk bersama-sama mencapai
keadilan dan kehidupan yang bermartabat—justru dipenuhi aparatur yang tak mampu
mewujudkannya. Salah satu indikasi ketakmampuan negara itu adalah masih
banyak rakyat yang masih konsisten hidup dalam kemiskinan. Seorang komedian
mengatakannya: negara telah secara murni dan konsekuen "memelihara rakyat
miskin" sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Karena itu, tak hanya
korupsi, kemiskinan pun kini telah adil dan merata di banyak tempat.
Rakyat yang waras memang mengindikasikan tingkat
kedewasaan dalam bernegara, tetapi juga mengandung kontradiksi. Pada satu sisi,
rakyat yang waras adalah wujud rasionalitas publik yang bisa secara cerdas dan
bijaksana ketika berhadapan dengan ketakrasionalitasan negara (semisal dalam
hal penyelesaian kasus hukum korupsi), dengan begitu terjadi dialektika yang
positif dalam artian: rakyat tidak mudah terhasut oleh hal-hal yang negatif,
dan pada akhirnya bisa tetap melakukan apa yang bisa dilakukan meskipun dalam
kondisi yang tidak ideal.
Situasi itu, pada sisi yang lain, membawa
konsekuensi pengabaian atas hal-hal yang sesungguhnya tidak masuk akal. Ini
menjadi semacam permisifisme yang kemudian secara sosial membentuk karakter
rakyat yang waras sebagai rakyat yang tidak ingin terlalu jauh terlibat dalam
persoalan-persoalan yang ditimbulkan negara. Dengan kata lain, mereka tak
terlalu peduli pada kebijaksanaan publik yang "kadang tak rasional"
karena rakyat yang waras bisa mencari celah untuk keluar dari kondisi yang tak
rasional itu.
Menghina akal sehat
Kewarasan, atau tetap bersikap rasional, hanya menjadi cara untuk menyelamatkan diri, sejauh itu menyangkut kepentingan dan tujuan pragmatis. Itulah dilema yang oleh Max Weber disebut sebagai rasionalitas instrumental, di mana tindakan dan rasionalitas hanya diupayakan untuk mencapai hal-hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan praksis. Dari sinilah kemudian kita bisa menyadari: bagaimana rakyat yang waras, pada tingkat tertentu, juga bertanggung jawab atas berbagai penyimpangan yang terus dilakukan negara.
Dalam situasi pilpres seperti saat ini, rakyat yang
waras bisa bersikap rasional menjadi rakyat yang bersikap netral. Sebab, mereka
tidak ingin terlibat lebih jauh dengan segala macam kampanye yang manipulatif
dan kadang menghina akal sehat. Kebohongan, seperti halnya kegilaan, memang
bahaya yang cepat menular, dan rakyat yang waras sudah pasti tidak ingin
terseret dalam kegilaan itu.
Namun, tentu saja kita berharap agar rakyat yang
waras itu juga tak hanya menyelamatkan dirinya sendiri, juga mesti bertanggung
jawab menyelamatkan negara ini dari kampanye-kampanye yang manipulatif penuh
fitnah. Di sinilah sesungguhnya kita bisa berharap lebih pada rakyat yang waras
itu agar kewarasan menjadi kesadaran bersama. Diperlukan kesadaran yang lebih
bersifat etik dan moral agar kewarasan menjadi acuan bersama dalam rasionalitas
nilai yang berlandaskan satu keyakinan luhur.
Dengan begitu, rakyat yang waras tidak saja akan
berpikir rasional untuk dirinya sendiri, tetapi juga memiliki sikap rasional
yang didasari oleh nilai-nilai yang menyangkut kepentingan lebih besar. Dalam
konteks pilpres yang sekarang berlangsung. Sikap politik rakyat yang waras
mesti lebih aktif dalam menentukan pilihan politiknya; bukan berarti harus ikut
dalam satu partai politik, tetapi mesti memiliki sikap politik. Dan, sikap
politik itu didasarkan pada rasionalitas nilai, seperti kemanusiaan, kejujuran,
dan perjuangan sejati untuk kemakmuran rakyat.
Republik ini terlalu berharga diserahkan begitu saja
pada kegilaan kekuasaan.
Karena itu, rakyat yang
waras mesti ikut menyelamatkannya melalui sikap dan pilihan politik, sebagai
suatu tanggung jawab untuk bersama-sama membangun politik negara yang
memuliakan kemanusiaan dan hak-hak konstitusional rakyat.
Rakyat yang waras adalah rakyat yang ikut
berpartisipasi menjaga nilai-nilai itu, bukan hanya rakyat yang menyelamatkan
diri dengan memikirkan kepentingan-kepentingan praktis dan pragmatisnya.
Jika pilpres adalah jalan demokratis untuk memilih
seorang pemimpin, maka kedaulatannya terletak pada pilihan rakyat. Tentu
menjadi berkah apabila pilihan itu dilakukan dengan kesadaran untuk mewujudkan
negara yang tidak lagi membiarkan rakyatnya sendirian menghadapi berbagai
persoalan. Ini memang bukan sekadar memilih seorang pemimpin, melainkan juga
menjaga cita-cita luhur yang telah diperjuangkan para pendiri negara ini. Sudah
pasti, rakyat yang waras tidak akan membiarkan negara ini menjadi negara yang
terus merepotkan rakyatnya.
Di tengah kegilaan kampanye kali ini, semoga kita
tetap jadi rakyat yang waras.
Diambil dari : Kritik bagi pemimpin,
doa-bagirajatega.blogspot.com
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar