Artikel KOMPAS
Pengajaran
Menyelamatkan Kehidupan
Sidharta
Susila ; Pendidik di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah
|
KOMPAS, 30 Januari 2016
"Perjumpaan
wajah bisa menajamkan empati hingga menumbuhkan tanggung jawab moral atas nasib
sesama.”
Emanuel Levinas,
...Resolusi ini
membantu anak-anak kita menjadi tuan atas nasibnya,
bukannya hanyut dalam
derasnya laku egoisme, tunamoral serta empati
karena rapuhnya perjumpaan.
Bersama
tapi tak berhubungan. Itulah tema salah satu lukisan pada pameran lukisan di
Bentara Budaya Yogyakarta, beberapa tahun yang lalu. Lukisan itu memotret
peran teknologi dalam kehidupan.
Pada
lukisan itu digambarkan sekelompok orang duduk bersama. Masing-masing asyik
dengan ponselnya. Mereka bersama, tetapi tak saling terhubung. Masing-masing
terhubung dengan seseorang atau sesuatu entah di mana. Itu potret teralienasi
dalam kebersamaan. Tragis!
Kondisi
hidup yang dipotret pelukis itu semakin kita rasakan. Teknologi komunikasi
yang memuja efisiensi dan efektivitas merapuhkan perjumpaan fisik. Padahal,
belajar dari Emanuel Levinas, perjumpaan
wajah bisa menajamkan empati hingga menumbuhkan tanggung jawab moral atas
nasib sesama.
Ketika
perjumpaan fisik merapuh, hakikat komunikasi pun runtuh. Komunikasi sepihak
tanpa perjumpaan wajah meminimalkan hingga menihilkan klarifikasi. Perlahan
tapi pasti kita belajar untuk tidak bertanggung jawab atas apa yang kita
wartakan. Pun bila warta itu berpotensi menghancurkan kehidupan. Hasrat
menggosip seperti menemukan ruangnya.
Kondisi
hidup hari ini akibat ketidakmampuan kita mengelola dampak teknologi pernah
menggelisahkan Albert Einstein. Ia bertutur, "I fear the day that
technology will surpass our human interaction. The world will have a
generation of idiots." Adakah kini kita sedang melahirkan generasi
dungu, tuna-empati, dan bebal tanggung jawab moral? Apa yang bisa diajarkan
kepada anak-anak kita demi menyelamatkan kehidupan mereka?
Ragam
kegelisahan
Kondisi
relasi manusiawi di atas hanya satu dari banyaknya dampak kegagapan kita
mengelola dinamika hidup akibat sinergi teknologi dan bisnis yang kian
menderas. Paus Fransiskus adalah satu dari banyak tokoh dunia yang menyadari
terancamnya harmoni dan keberlanjutan hidup yang bermartabat akibat gagap
mengelola dinamika itu.
Pada
banyak perjumpaan, beliau menawarkan sejumlah resolusi. Terhadap karut-marut
pola relasi antar-manusia, beliau mengajarkan untuk berhenti menggosip, dan
memberikan waktu serta perhatian kepada orang lain. Kita diajak untuk berani
berjarak dengan sarana komunikasi dan duduk bersama.
Paus sadar
dunia ini sedang diancam oleh kebencian yang ditebar subur oleh komunikasi
sepihak tak bertanggung jawab. Salah satunya perilaku menggosip.
Penebar
kebencian membiarkan konsumen wartanya dalam kebingungan hingga akhirnya
tersesat. Kecurigaan karena informasi tak utuh dan nihil klarifikasi sering
menjadi target. Maka,
Paus juga mengajak untuk tetap berteman dengan
mereka yang tidak setuju dengan kita dan berhenti menghakimi sesama.
Dengan
cara ini, ruang curiga karena pembodohan diciutkan.
Akibat
masifnya penjejalan iklan yang canggih, hasrat konsumsi kita kian menggila.
Pola konsumsi cenderung beralih dari butuh ke sekadar ingin. Dampak pola
konsumsi ini sungguh memprihatinkan. Sikap ugahari dan hidup bersahaja tak
lagi dihayati. Lihatlah betapa gampang kita membuang makanan. Padahal,
teknologi komunikasi mengabarkan begitu banyak orang di belahan dunia lain
yang kelaparan. Gambaran lain atas realitas ini bisa diunduh dari
Youtubedengan menggunakan kata kunci "di balik makanan sisa".
Atas
realitas itu,
Paus mengajak untuk makan secukupnya dan menghabiskan
makanan yang telah diambil, berbelanja barang yang sederhana atau hidup
bersahaja, dan menjumpai mereka yang miskin.
Sesungguhnya
membuang makanan dengan percuma adalah wujud merampok hak orang miskin yang
kelaparan. Perjumpaan dengan orang miskin akan menajamkan empati dan tanggung
jawab moral kita pada sesama. Maka, program tinggal di dan bersama kaum
miskin pada banyak sekolah itu pantas dilanjutkan demi kualitas anak didik,
juga demi menyelamatkan kehidupan.
Perlu
langkah nyata
Agaknya,
ada baiknya kita mengajarkan resolusi semacam ini dalam hidup sehari-hari,
khususnya dalam dunia pendidikan. Resolusi ini bisa dihayati sebagai upaya
nyata anak-anak kita terlibat merawat dan menyelamatkan bumi ini, bumi
mereka.
Tawaran
resolusi ini memang remeh. Itu ajaran sederhana. Tetapi, resolusi ini praktis
dan bisa kita ajarkan kepada anak-anak kita. Resolusi ini membantu anak-anak
kita menjadi tuan atas nasibnya, bukannya hanyut dalam derasnya laku egoisme,
tunamoral serta empati karena rapuhnya perjumpaan. Resolusi ini adalah
langkah nyata melibatkan anak-anak kita untuk merawat dan menyelamatkan
kehidupan ini, kehidupan mereka. ●
|
SIDHARTA SUSILA PENDIDIK DI MUNTILAN, MAGELANG, JAWA
TENGAH
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi
30 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Pengajaran Menyelamatkan
Kehidupan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar