Maaf
Oleh
: HERRY TJAHJONO
Kompas,
Sabtu, 12 Desember
2015
Gambar : Kompas
Salah
satu kompetensi terpenting dari seorang pemimpin, meski kelihatan sepele, adalah
kompetensi atau kemampuan maaf-memaafkan.
Tanpa kemampuan yang satu ini, jangan harap seorang
pemimpin bisa jadi pemimpin hebat atau besar. Sebuah organisasi (apa pun) akan
menjadi besar dan bermartabat jika pemimpinnya memiliki kompetensi maaf-memaafkan
ini secara memadai. Indonesia, sayangnya, sangat miskin pemimpin yang memiliki
kompetensi atau kemampuan maaf-memaafkan ini.
Secara garis besar ada empat kondisi yang menentukan
dimensi kemampuan maaf-memaafkan ini. Kondisi pertama, jika seseorang (khususnya
pemimpin, organisasi) menyakiti orang atau pihak lain, tetapi dia bersikeras
tidak mau minta maaf, baik dia merasa bersalah maupun tidak. Orang atau
pemimpin semacam ini adalah pemimpin yang patologis. Pemimpin yang patologis
akan menghasilkan organisasi dan anggota yang patologis pula. Contoh paling
relevan adalah gonjang-ganjing kasus yang dipelesetkan sebagai kasus "papa
minta saham".
Setidaknya sampai tulisan ini dimuat, belum terucap
satu kata maaf pun dari si pelaku terkait substansi kasusnya. Padahal, secara
moral perilakunya itu sudah menyakiti hati rakyat Indonesia. Kalaupun dia
pernah mengucapkan kata maaf, itu katanya untuk kegaduhan yang ditimbulkan oleh
kasus tersebut.
Permintaan maaf itu tidak bersifat substansial,
tetapi sensasional belaka. Ungkapan selanjutnya yang muncul malahan:
"merasa dizalimi"; "salah saya apa?"; dan seterusnya. Dan,
kita tahu, sampai saat ini, eksesnya menjadi patologis pula pada organisasi
yang dipimpinnya, terkait kasus tersebut, termasuk mahkamah yang berkewajiban
mengusut dan membereskannya. Pemimpin pada dimensi ini biasanya disebut sebagai
pemimpin yang patologis.
Kondisi kedua, jika seseorang (pemimpin, organisasi)
menyakiti orang lain dan dengan mudah dia meminta maaf pada orang atau pihak
yang disakitinya, baik dia merasa bersalah maupun tidak. Namun, permintaan maaf
pada dimensi ini juga tidak bersifat substansial, melainkan hanya bersifat
normatif sebab setiap kali habis meminta maaf, dia akan cenderung mengulangi
perilaku atau kesalahan yang sama dengan mudahnya pula.
Dimensi kepemimpinan dan organisasi semacam ini juga
mudah dijumpai di negeri ini. Salah satu contoh konkret adalah maskapai yang
sudah berulang-kali terlambat jadwal penerbangannya dan tentu saja menyakiti
konsumen/masyarakat; lalu dengan mudahnya setiap kali minta maaf- dan sekaligus
sesering itu pula melakukan kesalahan serupa. Susah sekali memperbaiki diri.
Pemimpin atau organisasi semacam ini biasanya mengalami inersia, kelembaman.
Pemimpin semacam ini disebut sebagai pemimpin normatif.
Kondisi ketiga, jika seseorang (pemimpin,
organisasi) menyakiti orang atau pihak lain ia merasa bersalah, lalu dengan
(relatif) tulus meminta maaf pada orang yang disakitinya. Salah satu indikasi
ketulusan itu adalah pada spontanitasnya meminta maaf dan kecenderungannya
tidak mengulangi kesalahan serupa.
"Hanya pemimpin
sehat dan pemimpin besar (sangat sehat) yang mampu membangun masa depan menjadi
lebih kuat
bagi generasi mendatang."
Contoh paling
relevan
Contoh paling relevan adalah Gubernur DKI Basuki
Tjahaja Purnama. Salah satunya adalah ketika dia secara spontan minta maaf
kepada Badan Pemeriksa Keuangan karena telah marah akibat tidak diizinkan
merekam pemeriksaan dirinya (baca: Pemeriksaan Tanpa Dokumentasi, Ahok Berdebat
dengan Pejabat BPK, Kompas.com, 23-11-2015).
Sepanjang yang kami ketahui, Basuki sehabis minta
maaf atas sebuah kesalahan cenderung tidak mengulanginya lagi. Pemimpin yang
memiliki kompetensi atau kemampuan "maaf-memaafkan" pada dimensi ini
disebut sebagai pemimpin yang sehat.Setidaknya organisasi yang baik memerlukan
pemimpin sehat semacam ini, apalagi untuk sebuah organisasi yang kompleks,
seperti negara kita.
Kondisi keempat, jika seseorang atau pemimpin
bukannya menyakiti orang lain, tetapi justru dia yang disakiti oleh orang atau
pihak lain. Pada kondisi ini, malah dia yang "meminta maaf" dalam
bentuk memaafkan orang yang menyakitinya. Tentu tidak mudah menemukan pemimpin
pada dimensi ini, tetapi bukannya tidak ada. Pemimpin dengan dimensi ini adalah
pemimpin yang sangat sehat.
Salah satu contoh pemimpin yang sangat sehat ini
yang bahkan mengilhami dunia adalah Nelson Mandela (yang dipenjara selama 27
tahun). Dunia terpesona menyaksikan pertunjukan kepemimpinan dimensi tertinggi
yang bersejarah di Afrika Selatan. Itulah momen tatkala Mandela baru keluar
dari penjara.
Ketika ditanya apakah ia masih menyimpan dendam dan
kemarahan atas semua kekerasan, penghinaan, penganiayaan yang dilakukan rezim,
dan lawan politiknya, dengan tenang dia menjawab: "Memang ada rasa marah,
bahkan takut, karena kehilangan kebebasan sekian lama, tetapi jika saya
melangkahkan kaki ke luar dari penjara dan tetap menyimpan dendam, itu berarti
saya masih terpenjara oleh mereka. Karena saya ingin bebas sepenuhnya, maka
saya tinggalkan rasa marah itu di belakang dan memaafkan semua yang
terjadi.!"
Selanjutnya-sejak saat itu- masa depan negeri
di bawah kepemimpinan Mandela itu berubah menjadi lebih kukuh dan kuat.
Pemimpin dengan kompetensi atau kemampuan "maaf-memaafkan", dimensi
inilah yang disebut pemimpin besar.Sekali lagi, dari konteks
kompetensi/kemampuan maaf-memaafkan ini, kita memerlukan sebanyak mungkin
pemimpin sehat dan pemimpin sangat sehat di negeri ini. Hanya kedua dimensi
kepemimpinan itulah yang mampu menjanjikan perubahan masa depan yang lebih
kukuh dan kuat bagi generasi mendatang.
Pemimpin pada
dimensi sehat dan (terutama) dimensi sangat sehat akan mudah memaafkan orang
lain. Secara kontekstual keyakinan akan perubahan masa depan yang lebih sehat
dan kuat (karena peran pemimpin sehat dan sangat sehat) mendapatkan landasannya
pada sebuah ungkapan bijak yang menyimpan mutiara kebenaran: It takes a strong
person to say sorry, and an even stronger person to forgive. Hanya pemimpin
sehat dan pemimpin besar (sangat sehat) yang mampu membangun masa depan menjadi
lebih kuat bagi generasi mendatang.
HERRY TJAHJONO Terapis Budaya Perusahaan, Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi
12 Desember 2015, di halaman 7 dengan judul "Maaf".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar