Kliping
Slenco
KOMPAS, 26 September 2012
Mas kangmas namine sinten
Sakniki dintene Sabtu
Mas kangmas kesah teng pundi
Sapi kulo pun manak pitu
Duh aduh jenengan
pripun
Sakniki pun
mboten ngalor
Dene menopo kok wangsul ngidul
Kulo niki namine sinten
(Mas kangmas namanya siapa
Sekarang hari Sabtu
Mas kangmas pergi ke mana
Sapi saya sudah beranak tujuh
Duh aduh kamu bagaimana
Sekarang sudah tidak ke utara
Lha kenapa kok ke selatan
Saya ini namanya siapa)
”Slenco”, karya Cak Diqin
Dari sepenggal isinya, lagu ”Slenco” yang dinyanyikan
bergantian cewek-cowok ini berarti enggak nyambung. Namun, slenco tidak
sesederhana itu. Slenco punya makna, masalah, dan hubungan sebab-akibat jauh
lebih kaya dari yang kita duga.
Itulah yang digali 65 perupa dalam pameran di Jakarta,
menyambut ulang tahun ke-30 Bentara Budaya 26 September 2012. Sesekali kita
perlu menyimak parodi para perupa tentang slenco-nya negara tercinta ini.
Iklan Kain Kafan
Inilah transaksi slenco di supermarket Indongaret, Jalan
Macet 69X Ubud-Bali (AS Kurnia). Tercetak di slip pembayaran: apel malang 1 kg,
24.450; apel washington 1 kg, 22.950; sayur banggar, 18.950; ham balang 1 kg,
88.000; century black label, 75 cl, 400.000. Ditambah nyam-nyam 170 gr, 37.250,
dan lain-lain, total jadi 782.250. Cash, 800.000, kembali 17.750. Kembalian
berupa permen, tidak ada koin receh.
Slenco telah menggubah bahasa harian jadi bahasa
koruptor. Korupsi dibahasakan dalam jual-beli buah-buahan, ham, dan minuman
keras. Korupsi di satu pihak
tersembunyi, di lain pihak menjadi transaksi sehari-hari. Kembalian pun
dikorupsi jadi permen. Padahal, koin receh bisa dikumpulkan untuk naik angkot
atau urunan membangun gedung KPK.
Bahkan, koruptor yang telah ditahan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) muncul bak selebritas. Menampilkan busana dan dandanan mewah,
menjinjing tas mahal harganya. Ke sidang seperti mau shooting film, ditunggu
fans berbondong-bondong.
Pernah ada wacana seragam khusus bertulisan ”tahanan KPK”
agar koruptor malu. Namun apa daya, koruptor terlalu gendut bagi seragam KPK
yang super-kecil dan sempit (Bambang AW). Sesungguhnya ini sindiran pahit bahwa
KPK telah menjadi lembaga yang tak berdaya.
Sudah banyak pejabat korup tertangkap KPK. Toh korupsi makin
merajalela. Urusan KPK makin banyak, namun tak punya gedung memadai. Banyak
perkara korupsi belum ditangani, eh, Mabes Polri malah menarik 20 penyidiknya
dari KPK. Jika itu terjadi, KPK lumpuh kehilangan seperempat tenaganya.
Di negara ini polisi menjadi bagian dari ke-slenco-an (Budi
Ubrux). Polisi seharusnya jadi pengayom, tetapi malah paling ditakuti rakyat.
Orang takut berhadapan dengan polisi karena berarti ”uang damai”. Kesalahan
sering dicari-cari oleh polisi. Inilah aktor korupsi harian.
Korupsi tidak hanya mewabah, tetapi menjadi life style
(Sinik). Sebagai gaya hidup, korupsi mempunyai nilai iklan, seperti mode dan
aksesori kekenesan. Coba iklankan baju tahanan KPK lengkap dengan borgolnya.
Orang akan segera menyukainya.
Tiap hari kita menyimak berita sidang korupsi. Kita melihat
bagaimana para koruptor menghias diri. Pengacaranya fasih membela klien korup
dengan segala silat lidah kepokrolan. Kita dengar, bagaimana akhirnya majelis
hakim membuat antiklimaks dengan vonis amat ringan terhadap penilep miliaran
uang rakyat itu. Hukuman kadang jauh lebih ringan dari maling motor. Bukankah
ini membuat korupsi jadi iklan life style menarik?
Sungguh-sungguh slenco! Tak mungkin korupsi yang teramat
slenco diatasi dengan nalar sehat. Untuk membasminya, gunakanlah taktik slenco
pula, misalnya dengan iklan khusus koruptor (Najib Amrullah). Koruptor rakus
akan segalanya. Kain kafan pun akan dikonsumsi jika dikemas menarik. Maka
buatlah iklan kubur yang memikat. ”Kain kafan berbahan halus dan tak mudah
terbakar, membuat para malaikat ramah menjemput, dan membebaskan dari siksa
kubur”.
Saking slenco-nya, koruptor pasti tertarik untuk membeli dan
memakai kain kafan itu. Tetapi ingatlah, siapa memakai kain kafan, dia pasti
mati! Pendeknya, biarlah dia terbujuk untuk mau mati terlebih dahulu. Setelah
itu, biarkan dia sendiri mempertanggungjawabkan siksa kuburnya.
Kain kafan khusus koruptor adalah akal-akalan rakyat yang
sudah putus asa menghadapi jahatnya korupsi karena segala upaya dan akal
manusiawi sudah menemui jalan buntu.
Salah Kostum
Slenco tak hanya terjadi dalam hal korupsi, tetapi
secara luas dalam tata politik kita. Kita tidak mempunyai pelaksana eksekutif,
legislatif, dan yudikatif yang pas. Kita ibarat anak-anak dalam lintasan lari.
Mestinya, kita adalah atlet pelari. Ternyata seorang anak memakai sarung tinju
dan memukul KO temannya yang berkostum kiper sepak bola. Inilah adegan sport
yang slenco. Lebih slenco lagi, datang seorang anak berseragam polisi,
berlagak sebagai wasit sepak bola. Inilah the wrong man in the wrong
place, at the wrong time and the wrong costume too (Yuswantoro Adi).
Memang politik kita sedang benar-benar slenco. Saat terancam
kekerasan dan perpecahan bangsa, kita butuh pemimpin yang tegas. Eh, kita malah
mempunyai pemimpin lembek. Demokrasi kita jadi liar. Jangan-jangan kita sedang
saltum (salah kostum) dengan demokrasi kita. Kita berada pada era yang
benar-benar slenco: semua serba salah, salah orang, salah tempat, salah waktu,
salah kostum pula.
Wakil rakyat pun sangat tidak tepat. Itu tampak dalam wajah
mereka yang berkarakter banyak. Seperti satu lukisan wajah, tetapi terdiri dari
petak-petak visual wajah, yang jika diamati benar tidak bersambung satu dengan
lainnya. Wajah pelbagai sifat, sehingga tak jelas identitasnya (Komunitas Seni
Rupa Cibubur).
Kupingnya kelihatan dua, tapi yang satu berbeda dari
lainnya, mungkin yang satu untuk mendengar kebenaran, yang lain untuk mendengar
kebohongan. Hidungnya pun seakan tempelan. Ia beralis mata, tapi tidak
simetris. Ia sungguh berwajah karakter rupa-rupa: pribadi yang kacau.
Tak jelas, apakah dia wakil rakyat pengantuk atau perampok
yang pura-pura punya integritas, padahal dia tidak jujur dan penipu. Apalagi
jika dilihat matanya: sekejap-kejap memantulkan bayang-bayang perempuan erotis
nyaris telanjang. Mana mungkin pandangan mata yang masih terkotorkan libido ini
bisa melihat penderitaan, kemiskinan, dan kesengsaraan rakyatnya. Mata itu
hanya akan melihat apa yang memuaskan nafsunya. Itulah slenco-nya wakil rakyat
kita.
Indra mereka juga slenco. Kadang mereka menutup telinga,
sementara mulutnya berteriak keras-keras. Kadang mereka menutup mulut
rapat-rapat, sementara mereka membuka telinga (Bambang Pramudiyanto). Mereka
tidak mau mendengar jeritan rakyat, tapi sok lantang menjadi pahlawan rakyat.
Mereka seakan mau mendengar perkara salah dan mesti diluruskan, tapi mulutnya
bungkam. Mereka hanya mencari selamat sendiri.
Mereka sungguh pribadi yang oportunis. Jika indera wakil
rakyat slenco, bagaimana jeritan rakyat bisa didengar atau dikumandangkan? Kita
seakan punya wakil rakyat tuli tetapi pinter omong dan tidak tuli tetapi bisu.
Mungkin karena slenco DPR kehilangan pamor. Ada masalah
serius di tengah bangsa ini: DPR menjadi lembaga yang enggak nyambung lagi
dengan rakyat. Slenco-nya wakil rakyat sungguh bahaya karena rakyat bisa
menganggap demokrasi parlementer itu salah kostum.
Situasi semua slenco membuat wajah orang bertopeng
berlapis-lapis (I Putu Edy Asmara Putra). Satu topeng dilepas, masih ada topeng
lain. Kita bersalaman, seakan berkomunikasi, padahal wajah kita tersembunyi
satu sama lain. Komunikasi kita tidak pernah jujur dan tulus. Kita
bersilaturahmi tanpa wajah asli. Silaturahmi slenco.
Gusdurian
Slenco telah menjadi situasi dan kondisi kita. Untuk
membenahi, kita mau tak mau harus menerimanya dulu. Ibaratnya, bendera nasional
kita harus kita hormati walau miring tiangnya (Sigit Santosa). Untuk
menghormatinya, kepala dan badan kita harus ikut miring. Itulah ironi slenco: Apa
boleh buat, bendera kita miring karena bangsa kita juga tengah miring. Tapi
slenco negara ini tak boleh menyurutkan nasionalisme dan patriotisme kita: right
or wrong is my country. Walau karena slenco, kita tidak tahu, apakah negara
kita sedang miring ke kanan atau ke kiri. Left or right is my country!
Berani menerima slenco, tapi kemudian berupaya keluar dari
slenco, sikap itulah yang ditunjukkan oleh almarhum Gus Dur. Ibaratnya Gus Dur
tahu, durian itu tajam kulitnya, tapi buahnya enak dimakan. Keduanya
bertentangan, tapi tak bisa dipisahkan. Itulah kebijakan ”Gusdurian” (Hadi
Soesanto). Sehari-hari Gus Dur mempraktikkan ideologi ”gusdurian” itu. Tak
heran ia sering kelihatan slenco. Di balik ke-slenco-annya, orang selalu bisa
meraba kebenaran yang hendak diperjuangkannya.
Ketika jadi presiden, Gus Dur tidak duduk di atas takhta
yang empuk, tapi di singgasana berduri tajam. Dengan ideologi ”gusdurian”-nya
ini, Gus Dur seakan hendak mempraktikkan kebijaksanaan Jawa: ”Satria bertapa di
pucuk pedang”. Artinya, jadi satria jangan diam bersemadi di tempat sunyi
seperti pendeta, tapi harus terus berjuang, bertempur membela negara. Memang
itulah yang dikerjakan Gus Dur. Ia melanggar semua formalitas istana agar tetap
bisa merakyat. Ia mengabaikan semua prosedur birokrasi yang bertele-tele agar
permasalahan bisa cepat selesai.
”Gitu aja kok repot”, itulah ringkasan ideologi ”gusdurian”.
Negara ini sudah banyak repot, mengapa harus dibikin lebih repot. Gus Dur
mengambil langkah yang tidak usah repot-repot. Sesungguhnya, di balik semboyan
”gusdurian”—gitu aja kok repot— tersembunyi keberanian untuk dengan tegas
mengambil langkah dan keputusan. Keputusan itu mungkin mendebarkan karena
kelihatan slenco dengan keadaan dan pendapat umum orang. Namun terbukti
sekarang, banyak keputusan Gus Dur adalah benar dan tepat, lebih-lebih dalam
hal keutuhan bangsa, toleransi dan perlindungan pada minoritas.
Sebisa-bisanya slenco memang harus ditata kembali (Sugiyo
Dwiharso). Slenco adalah sebuah puzzle. Keping-keping puzzle tersusun rapi,
sesuai dengan urutan angkanya. Namun, susunan keping-keping yang teratur itu
ternyata tidak berhasil menyusun gambaran manusia yang seharusnya dihasilkan
oleh puzzle itu. Puzzle sosial kita tepat dan benar dalam hal angka, statistik,
norma dan aturan, tapi berantakan dalam menyusun realitas masyarakat yang kita
cita-citakan. Demokrasi kita mungkin sudah benar secara prosedural, tapi gagal
secara material. Akibatnya, kita punya demokrasi slenco.
Gambaran slenco sebagai puzzle sosial yang gagal dan
berantakan kiranya boleh mendekatkan kita pada teori komunikasi filsuf Jürgen
Habermas. Menurut Habermas, sebagai fakta, komunikasi belum atau tidak pernah
ada. Maksudnya, secara faktual kita tidak pernah memperoleh pengertian yang
utuh dan benar tentang sesama kita ketika kita menjalankan komunikasi. Maka
keliru jika kita memahami komunikasi itu seakan-akan sebuah fakta. Yang benar,
komunikasi adalah suatu proses dan cita-cita, yang harus terus-menerus kita
wujudkan.
Dengan kata lain, kita selalu slenco dalam memahami yang
lain, demikian pula yang lain terhadap kita. Kendati demikian, kata Habermas,
kita mesti terus menjalankan komunikasi untuk mencapai kesepakatan yang bisa
diukur kebenarannya. Kebenaran di sini bukanlah melulu rasional: kebenaran itu
adalah ketersambungan antara apa yang telah kita sepakati secara rasional dan
fakta nyata perbuatan kita. Maka komunikasi harus selalu mengarah pada tindakan
dan buah perbuatan nyata. Kalau tidak, kita akan terus menerus slenco.
”Sedhengan”
Menurut khazanah kebatinan Jawa, sejauh manusia masih kadunungan
raga (mempunyai raga), ia masih bisa slenco. Batin atau roh manusia memang
mengarah pada satu-satunya kenyataan yang diidam-idamkannya, yakni manunggaling
kawula- Gusti, persatuan diri dengan Tuhannya. Tapi raga manusia sering
membuatnya sasap-sisip, menyimpang ke sana kemari. Itulah yang membuat slenco.
Maka, agar tidak terus slenco, manusia diminta untuk
mewaspadai raganya. Maksudnya, ia diminta untuk tidak menuruti segala nafsu
nikmat raganya. Nafsu nikmat ragawi itu memang tak mengenal batas, padahal raga
manusia itu sesungguhnya amat kecil dan terbatas. Maka, agar tidak slenco
dengan raganya, manusia harus rumangsa karo ragane (tahu diri dengan raganya).
Karena itu ada petuah kebatinan Jawa demikian: Merasa besar itu salah, merasa
kecil juga keliru. Yang baik adalah sedhengan (cukupan). Sebab, sedhengan itu
bisa masuk dalam nalar hati siapa saja. Dan pas, tidak kebesaran, tidak juga
kekecilan.
Jelas pada akhirnya slenco berkenaan dengan sikap hidup yang
tahu diri. Agar kita tidak slenco, kita harus menjadi sedhengan, pas, ugahari,
dan sederhana. Bukankah kita slenco karena serakah, ingin memiliki dan
menikmati yang lebih dan menjadi diri yang lebih dari kita sendiri?
Betapa sederhana sebenarnya soal kita: kita slenco
karena kita tidak mau hidup sederhana. ●
Sumber :
Budisansblog.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar