Yang Muda yang Korupsi
Tajuk
Rencana Kompas, Rabu, 08 Mei 2013
gambar : appscmaterial.blogspot.com
Hasil survei Transparency International Indonesia
dan hasil jajak pendapat harian ini
(Kompas, 6/5) saling melengkapi.
Itu ditandai pesimisme kaum muda dan tidak adanya
kepastian hukum menegaskan korupsi sebagai kejahatan sistemik. Kelengkapan itu
menjadi lengkap dengan kasus korupsi yang melibatkan kaum muda. Terjadi
regenerasi koruptor. Sebagai kejahatan sistemik, persoalan korupsi di Indonesia
menyangkut manusia dan sistem. Benar kata Hannah Arrendt, korupsi adalah
kejahatan kemanusiaan. AS, sebagai contoh, tidak pandang bulu terhadap
koruptor, tetapi "pilih-pilih" terhadap pelaku kejahatan lainnya.
Penjelasan tentang dampak kejahatan kemanusiaan
banyak dianalisis. Istilah kejahatan radikal menurut Theodore Adorno, filsuf
Jerman, barangkali paling merangkum. Disebut radikal karena menggejala dalam
masyarakat luas. Dalam kondisi demikian, kejahatan tak lagi dikenali sebagai
kejahatan. Kejahatan menjadi banal, kata Arrendt. Kita berseloroh kejahatan
ramai-ramai dengan ekses nyata masyarakat semakin permisif terhadap koruptor.
Kasus korupsi yang ramai belakangan ini—contoh yang
didakwakan kepada Djoko Susilo dan Susno Duadji, pejabat dan mantan pejabat
tinggi aparat penegak hukum—selain membenarkan korupsi sebagai kejahatan banal,
juga sikap melecehkan kewibawaan hukum.
Kasus korupsi dari hulu sampai hilir dikorup,
membenarkan pesimisme kaum muda terhadap pemberantasan korupsi. Begitu juga
dengan maju-mundurnya upaya pemberantasan korupsi, pro-kontra eksistensi KPK,
perlakuan pilih-pilih kasus pun menegaskan betapa kejahatan kemanusiaan ini
membelit kehidupan berbangsa kita.
Sejarah perjalanan kita memberantas korupsi tak
menorehkan kesuksesan besar. Dibandingkan dengan komisi pemberantasan korupsi
terdahulu, KPK dihadapkan pada kondisi serba lebih berat. Tidak saja kondisi
ekses negatif reformasi, tetapi juga ketiadaan faktor kepemimpinan.
Banalnya korupsi akan terdukung aparat penegak
hukum, dukungan masyarakat berikut lembaga advokasinya, dan ketegasan
pemerintah. Apabila persyaratan minimal itu tidak terpenuhi, hentikan menaikkan
gaji dan bonus sebagai solusi mengurangi korupsi, kejahatan radikal ini akan
semakin merebak sebagai keharusan bersama.
Ketika korupsi jadi keharusan, apalagi jadi
keyakinan kaum muda, gelap sudah masa depan Indonesia. Yang muda yang korupsi,
belakangan jumlah orang muda yang terlibat makin banyak, tak bisa lagi jadi
wacana, tak lagi jadi keluhan, pun jadi trade mark praksis pemerintahan, tetapi
bayang gelap masa depan Indonesia.
Terlambatkah kita? Belum!
Ekses yang muda yang korupsi lebih mudah menyebar
dibandingkan dengan yang muda yang memberi harapan, tetapi ekses itu bisa
diperlambat. Merampas aset koruptor dan memiskinkan mereka barangkali solusi
ekstrem mencegah Indonesia menuju negara yang benar-benar gagal.
Sumber : Tajuk Rencana Kompas, 8 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar