gambar : antarafoto.com
Oleh:
Sindhunata , Kurator Bentara Budaya
Kompas, Senin, 14
Oktober 2013
PADA
malam 2 Oktober lalu Bentara Budaya Yogyakarta tersulap menjadi langgar. Hampir
tiga hari para seniman bekerja keras menutupi sekeliling gedung dengan gedek.
Tangganya dilapisi bambu. Atapnya ditutupi rumbai-rumbai ijuk. Penerangannya
teplok dan senthir. Seperti sebuah langgar desa di tengah-tengah kota.
Pedesaan yang agraris makin terasa di halaman Bentara Budaya yang lebih dikenal sebagai Pasar Yakopan itu. Pohon-pohon pisang bertebaran di sana. Bergantungan pelbagai hasil bumi, yaitu jagung, salak, kelapa, semangka, pisang, bengkuang, timun, terung, dan sebagainya. Tikar digelar sampai ke jalan raya, yang malam itu ditutup sementara untuk lalu lintas.
Disambut
musik rebana, lebih dari seribu orang berduyun-duyun ke sana. Mereka mau
mendengar tausiah Kiai H Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) dari Pesantren
Salaf API, Tegalrejo, Magelang, dan Kiai H Mustofa Bisri (Gus Mus) dari
Pesantren Raudlatuh Tholibin, Rembang, yang diminta membuka pameran perupa
Nasirun berjudul "Rubuh-rubuh Gedhang". Pameran dibuka dengan
ditabuhnya beduk besar oleh dalang wayang suket Slamet Gundono, dilanjutkan Gus
Mus.
Dalam
perhelatan istimewa yang disebut tablig seni ini, Nasirun memamerkan sembilan
beduk besar penuh lukisan. Ia memamerkan figur Wali Sanga, sembilan wali, dalam
wayang berukuran raksasa. Dinding dalam gedung pameran dibalut dengan lukisan
sepanjang 50 meter. Tablig seni itu memang dimaksud mengenang kembali Wali
Sanga, yang menyebarkan Islam pertama kali di Jawa. Wali Sanga dikenal sebagai
mubalig dan ulama yang menyebarkan Islam dengan sangat menghargai dan mencintai
kebudayaan setempat. Mereka berpegang teguh kepada ajaran Islam. Kendati
demikian, mereka berusaha jangan sampai penyebaran agama Islam meniadakan
kebudayaan. Mereka menggunakan, bahkan makin menghidupkan dan menyuburkan seni
dan kebudayaan menyampaikan ajaran Islam.
Sunan
Giri, misalnya, konon banyak menggunakan tembang dolanan anak untuk memasukkan
ajaran Islam. Dalam lagu "Padhang-padhang Bulan", diterangkan
bagaimana Islam sebagai terang yang telah datang, menerangi dunia,
menyingkirkan kebodohan yang menyesatkan. Sunan Kalijaga sangat ahli dalam
gamelan dan wayang. Ia menciptakan lakon wayang baru untuk dakwahnya. Bersama
Sunan Kalijaga, bukan hanya dakwah Islam yang tersebar, wayang dan gamelan pun
makin hidup di tanah Jawa.
Kisah Wali Sanga mungkin beraroma mitos.
Seperti mitos lainnya, mitos Wali Sanga mengandung ajaran dan kebenaran yang
ingin disampaikan: dakwah tak perlu diwartakan dengan meniadakan kebudayaan
atau kesenian. Dalam khazanah Islam, kiranya para wali itu bolehlah disebut
sebagai ulama yang berijtihad menyebarkan Islam agar manusia dapat mencapai
ihsan sepenuh-penuhnya.
"Rubuh-rubuh
Gedhang" kiranya mengajak kita kembali merefleksikan dan menghidupkan
ke-ihsan-an dan keijtihadan itu.
Kreator
peradaban
Islam
bukan hanya agama, melainkan juga the universal way of life. Dalam kesadaran
ini, termaktub keyakinan yang indah tentang yang disebut ihsan. Menurut
cendekiawan Islam, Bilal Sambur dari Suleman Demirel University Turki, ihsan
adalah kesadaran bahwa di dunia ini individu manusia tak berada sendirian,
tetapi berada dan hidup dalam kehadiran Allah dengan hati dan budinya. Sambur
mengutip Hadis, "tidakkah hidup ini adalah untuk menyembah Allah
seakan-akan kamu sedang melihat-Nya, dan sementara kamu belum melihat-Nya, Dia
sungguh melihat kamu". Dari situ, tampak Allah adalah "Penjaga",
al-Bashir, bagi manusia semua walau manusia tidak melihat-Nya.
Maka, ihsan adalah prinsip yang mengatur pikiran,
perasaan, dan perbuatan manusia. Relasi dengan Allah yang tak
terpisahkan itu adalah keadaan manusia yang asali, natural, dan konstan. Dengan
relasi ke-ihsan-an itu pula, manusia berhubungan dengan masyarakat dan
jagatnya. Di sinilah manusia diminta menjadi spiritual dan etis sekaligus.
Manusia diminta jadi human, manusiawi, karena kerelasian itu.
Apakah
hidup secara manusiawi itu? Kata Sambur:
hidup secara manusiawi adalah hidup yang bercivilisasi. Humanisasi dan civilisasi itu identik
sebab, menurut prinsip ihsan, Allah menjaga dan mengamati manusia karena Dia
ingin melihat manusia sungguh hidup sebagai insan yang manusiawi dan
berkeadaban. Manusia bertanggung jawab menciptakan peradaban sehingga manusia
dapat bertanggung jawab di hadirat Allah yang selalu hadir menjaganya.
Jadi,
……ihsan, sebagai kesadaran akan Allah
yang selalu hadir dalam hidup ini, adalah prinsip protektif dan asasi bagi
kemanusiaan dan peradaban. Jika kehilangan ke-ihsan-an, kita pun akan kehilangan
kehidupan kita yang manusiawi dan berkeadaban sebab menjadi tidak sadar akan
Allah adalah mendehumanisasi dan mendecivilisasi kehidupan kita. Prinsip ihsan
bukan prinsip yang romantis dan mistis dari Islam, melainkan mekanisme
fungsional yang memajukan pemanusiaan
dan pemberadaban.
Di
sinilah Islam jadi pandangan hidup yang mencakup seluruh kehidupan manusia yang
berkeadaban. Singkatnya, menurut Sambur, Tuhan menginginkan karya manusia
bernama peradaban itu pelengkap bagi karya-Nya, yakni penciptaan. Untuk itu,
Sambur mengetengahkan puisi Iqbal:
….Engkau menciptakan malam, aku menciptakan lampu
Engkau menciptakan lempung, aku menciptakan pasu
Engkau
menciptakan rimba, gunung gemunung, dan padang pasir, aku menciptakan taman,
kebun buah-buahan, dan jambangan-jambangan bunga!
Akulah yang
membuat gelas dari batu.…
Peradaban,
dengan demikian, bukanlah sekadar runtutan perkembangan ilmu dan teknologi.
Lebih dari itu, peradaban adalah suatu pemanusiaan dalam setiap aspek
hidup, ilmu, seni, filsafat, estetika, sosial, kultural, politik, dan religius.
Jika
pemanusiaan ini dihalangi, pemeradaban akan jatuh ke dalam jahiliyya atau
kebarbaran.
Islam,
kata Sambur, sinonim bagi peradaban, sedangkan jahiliyya musuh peradaban. Tanggung jawab universal umat Muslim memperadabkan
diri dan melindungi kehidupan peradaban di dunia ini. Sambur mengingatkan,
kendati Islam berarti cara hidup berkeadaban, tak berarti semua umat Muslim
sudah berkeadaban.
Identitas
keberadabannya bergantung pada sudah-belumnya umat Muslim mengaktualkan
tanggung jawab keperadabannya. Untuk itu, kriterianya Al amr bil Ma'ruf wa
Nahy'an al Mungkar, prinsip memperjuangkan peradaban dan mencegah
ke-jahiliyya-an. Umat Muslim harus punya agenda pemeradaban bagi masa kini dan
masa depan umat manusia. Untuk itu, umat Islam perlu menafsirkan Al Quran
sebagai sesuluh pemeradaban dan keadaban, dan sunah atau paradigma nabi sebagai
modal bagi praktik pemeradaban. Tugas
utama Muslim adalah menjadi kreator keadaban. Arah pemeradaban ini bukan
masa lampau, melainkan masa depan sebab teologi ke-ihsan-an macam itu menolak
Muslim sebagai warga masa lampau, tetapi membuat mereka sadar bahwa mereka
adalah kreator baru bagi masa sekarang dan masa depan. Umat Muslim harus
benar-benar berijtihad memperjuangkan kemanusiaan dan pemeradaban di masa kini
dan masa depan.
Banyak
sarjana Islam bergulat dengan pengertian ijtihad. Setelah mempelajari tulisan
para sarjana Islam, seperti Ibn al-Althir, Ibn Manzur al-Misri, Sa'id
al-Khudri, dan Ibn Arbi Dharia'ah, studi Mir Mohammad Ibrahim dari Regional
Engineering College, Srinagar, menyimpulkan: ijtihad adalah upaya menggunakan
kekuatan, potensi, dan usaha manusia semaksimal mungkin untuk mengolah dan
menyelesaikan perkara yang sedang dihadapinya. Dengan ijtihad, manusia dituntut
berani berupaya sampai mencapai kemampuannya yang terakhir.
Semula
ijtihad dikerjakan dalam wilayah fiqh, yurisprudensi. Seperti kata Mohammad
Ibrahim, sarjana Islam terkenal, Ali Shariati tak setuju jika ijtihad dibatasi
pada wilayah hukum saja. Ijtihad adalah upaya mencapai pengertian Islam yang
berani menerobos dan progresif dalam segala dimensinya. Ijtihad adalah alat
yang harus digunakan mencapai pengertian baru tentang Islam, yang mampu secara
progresif menghadapi tantangan perubahan zaman dan pandangan hidup manusia.
Dengan ijtihad, orang ditantang menemukan makna terdalam pada Al Quran, yang
sesungguhnya amat kaya dengan pelbagai aspeknya. Ijtihad akan membantu Islam
menemukan kebenaran baru, sejajar dengan evolusi pikiran dan ilmu pengetahuan
manusia. Ijtihad akan membantu umat meraih tatanan hidup baru, sesuai dengan
kebutuhan yang sedang berubah. Dan bagi institusi, ijtihad adalah kekuatan yang
menciptakan gerakan, kehidupan, dan pembaruan kultur Islam.
Menjahit
peradaban
Ijtihad
berkembang setelah kepergian Nabi, saat umat banyak menghadapi problem baru
karena perubahan zaman dan meluasnya khalifah. Dalam wilayah religius,
spiritual, dan kultural, ijtihad adalah pintu masuk di mana karavan zaman
lewat. Ijtihad adalah terowongan menuju rumah belajar Islam: membuat orang
bernapas dengan udara baru dan segar. Dalam sejarah Islam, upaya ini
pernah ditutup. Tertutupnya ijtihad membuat lahirnya fatwa yang irasional,
menjadikan umat gamang, gagal menghadapi tantangan baru. Kata Shariati, menutup
pintu ijtihad sama dengan matinya spirit Islam, yang membuat kebudayaan dan
pandangan hidup Islam anakronistis dan ketinggalan zaman.
Kini
kiranya saya boleh melihat bahwa Islam adalah agama yang memungkinkan kita
semua berijtihad menjadi ihsan yang mengembangkan kemanusiaan dan peradaban. Islam demikian inilah yang mungkin dulu dihayati para pendiri bangsa.
Itulah yang membuat mereka yakin bahwa Ketuhanan bagi bangsa Indonesia adalah
Ketuhanan yang tak bisa dilepaskan dari kemanusiaan dan peradaban. Demikianlah
kata Bung Karno dalam pidato lahirnya Pancasila: Dasar kelima (yang kemudian
menjadi dasar pertama) adalah Tuhan yang berkebudayaan, yaitu Ketuhanan yang
berbudi pekerti luhur. Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain
sehingga segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini akan mendapat tempat
sebaik-baiknya.
Betapa konsep ke-ihsan-an terasa sekali dalam
kata-kata selanjutnya, saat Bung Karno meyakinkan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa
adalah dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberi jiwa kepada
usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil, dan baik. Adapun dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik
hidup dari dasar yang memimpin tadi. Lalu kata Bung Karno lagi: "Segenap
rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan "tiada egoisme
agama". Nabi
Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang
menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid
itu."
Tak
berlebihan kiranya bahwa di Indonesia saat ini terbaca sekali ada ketakutan
karena "egoisme agama" yang akhir-akhir ini muncul dengan amat
kentara. Ada kekhawatiran, lebih-lebih dari kaum minoritas agama, bahwa kita
tidak bisa saling menghormati karena perbedaan agama. Kekhawatiran ini beralasan
karena sering mereka ditekan dan ditakut-takuti lewat kekerasan yang
mengatasnamakan agama. Maka, Islam sebagai agama mayoritas kiranya perlu
berijtihad memberantas kekhawatiran itu. Sudah
saatnya, dengan prinsip ke-ihsan-an yang dimilikinya, Islam di Indonesia
berijtihad untuk benar-benar melahirkan Ketuhanan yang diinginkan cita-cita
Pancasila, yakni Ketuhanan yang berkebudayaan dan berbudi pekerti luhur
sehingga pemeluk-pemeluknya menjadi para ihsan yang mencintai peradaban dan
kemanusiaan, yang menjaminkan kehidupan bersama, di mana para warganya dapat
menghayati keyakinan dan agamanya dengan bebas dan saling menghormati.
Dalam
itulah kiranya kita boleh mengapresiasi pameran seni rupa Nasirun kali ini.
Nasirun menorehkan lukisannya di atas beduk raksasa. Dengan suaranya yang khas,
beduk memanggil kita bersembahyang, saat kita sujud menghadap Allah dan
menyadari ke-ihsan-an kita. Beduk membawa kita sadar bahwa kita selalu berada
dalam relasi dengan Tuhan. Dan relasi itu mengharuskan kita bersama-sama dengan
manusia lain menggalang kemanusiaan dan peradaban. Nasirun
menghadirkan bukan hanya satu, melainkan sembilan beduk. Bersamaan dengan itu,
ia juga membuat sembilan wali dalam rupa sembilan wayang. Ini semua seakan-akan
hendak memanggil kembali Wali Sanga, para mubalig yang menyebarkan agama Islam
sambil mencintai kebudayaan dan melahirkan peradaban. Dengan segala ijtihadnya, mereka membuat Islam sebagai agama yang
berkebudayaan.
Sumber
diambil ; Kritik
bagipemimpin. Linkis.com
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002531168
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar