KOMPAS, 24 Februari 2015
“Cinta
alam, cinta Gunung Kelud, dan gunung-gunung lainnya
kepada manusia merupakan pantulan cinta Tuhan
kepada semua makhluk yang diciptakan-Nya”
Indra Tranggono.
kepada manusia merupakan pantulan cinta Tuhan
kepada semua makhluk yang diciptakan-Nya”
Indra Tranggono.
Alam telah berkali-kali memunculkan interupsi
kepada umat manusia melalui banjir, gempa bumi, tanah longsor, dan letusan
gunung. Banyak orang masih sering salah membacanya: interupsi dipahami sebagai
bencana alam.
Alam tersinggung dengan pemahaman yang keseleo
itu. Alam pun meradang,
”Lho apa salah kami, kok, selalu
dipojokkan sebagai biang kerok bencana? Seolah-olah kami ini kejam, bengis,
dan tega menari-nari di atas korban dan penderitaan manusia.
Kami ini hanya menjalani hukum
yang sudah digariskan Tuhan.
Sebagaimana kalian para manusia,
kami pun harus selalu berproses untuk menemukan keseimbangan baru. Risikonya,
selalu ada guncangan, letusan, patahan bumi, dan banjir bandang yang kalian
anggap sebagai bencana.
Ini orkestrasi raksasa yang harus
kalian pahami dengan ilmu, pengetahuan, akal sehat, kearifan, dan kemampuan
manajerial.
Jangan hanya bisa mengecam dan
komplain!”
Tak berhenti di situ. Alam pun terus menggugat,
”Terus terang kami ini
kelara-lara, sakit hati berkepanjangan karena kalian anggap sebagai produsen
bencana.
Mendadak kalian lupa selama ini
kalian telah menikmati semua manfaat dan kebaikan yang telah kami berikan.
Kami telah memberi kalian
kesuburan dan penghidupan sehingga kalian bisa sejahtera dan bahagia.”
”Perkara kemakmuran itu tidak
dibagi rata, itu bukan salah kami.
Salahkan mereka yang punya kuasa
untuk mengatur dan mendistribusikan kesejahteraan, tetapi curang.
Tanyalah kepada pemerintah dan
para penyelenggara negara.
Saya jamin kalian tidak akan
mendapatkan jawaban yang melegakan hati karena mereka terlalu pandai untuk
bermain retorika.
Mendadak mereka berubah peran
menjadi motivator dan lupa bahwa mereka itu sejatinya adalah motor perubahan
dan distributor kesejahteraan bagi rakyat.
Percaya, deh, mereka lebih banyak
mengimbau para korban keadilan untuk selalu sabar dan berjiwa besar.”
Ada hal selalu menyedihkan alam.
”Kalian tahu, setiap kami
menggelar orkestrasi besar macam gempa, banjir, dan gunung meletus, selalu
muncul banyak proyek penanggulangan bencana.
Kami bisa duduk manis atau tidur
tenang jika peruntukan proyek itu memang benar dan sampai ke sasaran.
Namun, yang namanya proyek, kan,
tidak selalu steril dari hasrat untuk cari bathi/keuntungan.
Masak, untuk urusan selimut saja
enggak beres?
Kami menangis, marah, dan selalu
mendoakan para pengutil dana itu punther dan mlungker tangannya serta segera
insaf dan mendapatkan jalan yang terang.”
”Perut kami juga sering mual
melihat para aktor politik yang mendadak mendatangi korban, membawa beberapa
dus mi instan dan disorot kamera.
Teganya mereka mengeksploitasi
penderitaan bangsa sendiri demi mendongkrak popularitas politiknya.
Mereka menghina orang miskin
dengan kekayaan dan kekuasaannya. Saya sangsi ketulusan masih ada di negeri
ini.
Jika mental rombeng macam ini
masih bercokol, saya pun ragu bangsa ini mampu membangun kebudayaan untuk
mencapai peradaban yang tinggi,”
kata alam dengan gusar.
Cinta
Tuhan
Di tengah berbagai perasaan yang teraduk-aduk,
masih ada secercah refleksi di tengah orkestrasi alam yang menghebohkan. Ini
terjadi, misalnya, ketika Gunung Kelud yang berdiri kokoh di perbatasan
antara Blitar dan Kediri, Jawa Timur, itu meletus. Letusan setinggi 17
kilometer itu tidak hanya menyapu Jawa Timur, tetapi juga menimbulkan hujan
abu vulkanik di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Kegiatan sosial, ekonomi, dan
budaya pun lumpuh selama beberapa hari.
Kami warga DI Yogyakarta harus bertarung mengatasi
abu dan debu vulkanik yang membahayakan bagi kesehatan itu. Namun, kami tidak
marah dan mengutuk Kelud. Kami justru berterima kasih kepadanya karena telah
bermurah hati mendistribusikan kesuburan ke kota kami.
Kami sangat mengapresiasi Kelud yang tidak punya
kompleksitas kejiwaan, like and dislike, dan berpikir/bertindak dengan
prinsip berdasarkan prasangka buruk, intoleran atas nama SARA (suku, agama,
ras dan antargolongan).
Kelud
memberikan potensi kesuburannya secara adil dan merata.
Ia
memantulkan sifat-sifat mulia Tuhan: kasih sayang, baik hati, adil, dan
pemberi kebaikan.
Kami pun berguru kepada Kelud, juga kepada
gunung-gunung lainnya, dalam keteguhan memegang prinsip-prinsip dasar tentang
cinta, kebenaran, keindahan, dan keadilan. Cinta merupakan magma rohani yang
memancar, teraktualisasi membangun kebenaran obyektif untuk menebus dunia
yang mengalami ketidakutuhan dalam nilai-nilai dan sarat penderitaan manusia.
Keindahan dan keadilan merupakan wujud penebusan itu.
Cinta
alam, cinta Gunung Kelud, dan gunung-gunung lainnya kepada manusia merupakan
pantulan cinta Tuhan kepada semua makhluk yang diciptakan-Nya.
Karena itu, gunung-gunung bisa tersinggung jika
dianggap marah dan mengamuk ketika mereka menggelar orkestrasi vulkanik yang
eksplosif. ”Pers kadang terlalu mendramatisasi,” ujarnya.
Saya tidak tahu apakah para pemimpin negeri ini
juga berguru kepada alam, kepada gunung-gunung, tentang kebenaran obyektif,
keindahan, dan keadilan dalam menjalankan peran sosialnya. Jika sudah
belajar, kita pun wajib bertanya: kenapa berbagai ketidakadilan tetap saja
menganga dan mengerkah banyak korban?
Kita berdoa, semoga gunung-gunung yang telah
menggelar orkestrasi vulkanik dengan ungkapan penuh cinta itu tidak muspra,
tidak sia-sia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar