Era Baru Ujian Nasional
ARIFAH SURYANINGSIH, Guru SMKN 2 SEWON, Alumnus UNY dan MM
UGM.
Kompas, Sabtu, 28 Februari 2015
Gambar : Kompas.image
“Adanya perubahan dari sistem lama
ke sistem baru akan membawa pengguna,
dalam hal ini guru dan siswa,
menghadapi masa transisi,
yaitu beradaptasi teknis (keahlian,
kompetensi, proses kerja)
dan kultural (perilaku, pola pikir,
komitmen).”
Arifah Suryaningsih
Ujian nasional 2015 akan diwarnai beberapa
perbedaan dibandingkan dengan pelaksanaan UN tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan
pertama adalah bahwa UN tahun 2015 tidak lagi digunakan sebagai penentu
kelulusan siswa, hanya untuk pemetaan mutu pendidikan. Perbedaan kedua adalah
pada tahun ini UN daring sudah mulai dilaksanakan di beberapa sekolah. Artinya,
akan ada dua macam sistem ujian nasional, yaitu sistem manual dan sistem
terkomputerisasi.
UN daring
(dalam jaringan/online) atau yang disebut computer based test (CBT) ini
diharapkan bisa memberi solusi atas pelaksanaan ujian yang lebih bersih dari
kecurangan, meniadakan kebocoran soal, efektif dalam pelaksanaan, bahkan
efisien dalam anggaran. Dilaksanakannya UN daring merupakan perubahan besar
sistem ujian nasional. Sebagai gambaran, pada UN 2013, siswa dihadapkan dengan
lima variasi soal dalam satu ruang ujian.
Tahun 2014
dan 2015, siswa dihadapkan pada 20 variasi soal dalam satu ruang ujian. Seluruh
soal dicetak pada kertas soal, kemudian siswa menjawab dengan cara melingkari
jawaban yang dianggap benar menggunakan pensil jenis 2B pada lembar jawab
komputer (LJK). Selanjutnya, LJK akan melewati alur pemeriksaan panjang
sehingga hasil UN baru keluar dalam waktu panjang.
Dengan
sistem daring, semua jalur dipersingkat. Model variasi soal dilakukan dengan
sistem pengacakan basis data bank soal yang telah dipersiapkan sebagai bahan
ujian. Dengan sistem ini, kerumitan dan proses panjang pencetakan serta
pendistribusian soal yang sering menjadi masalah diminimalkan. Selanjutnya,
model koreksi jawaban melalui alat pemindai LJK juga akan digantikan dengan
sistem terkomputerisasi yang lebih andal. Masalah teknis lainnya juga
terselesaikan dengan hilangnya waktu untuk pembagian soal dan pengawasan
berlebihan.
Konversi
sistem manual menuju sistem terkomputerisasi tentu membutuhkan banyak biaya dan
waktu. Wajar jika penerapannya baru bisa dilaksanakan dan direkomendasikan
untuk beberapa sekolah yang telah siap secara infrastruktur.
Adanya
perubahan dari sistem lama ke sistem baru akan membawa pengguna, dalam hal ini
guru dan siswa, menghadapi masa transisi, yaitu beradaptasi teknis (keahlian,
kompetensi, proses kerja) dan kultural (perilaku, pola pikir, komitmen).
Artinya sekolah yang telah menyatakan siap
melaksanakan UN daring harus benar-benar mampu menyediakan semua fasilitas
untuk siswa, khususnya perangkat keras, jaringan, koneksi internet, dan
ketersediaan listrik. Perlu diwaspadai pula jaminan keamanan dari serangan virus
ataupun hacker. Jangan sampai kebocoran soal dan kevalidan yang
digembor-gemborkan pada UN daring menjadi sia-sia.
Selanjutnya,
kesiapan teknisi dan penyelenggara di sekolah akan menjadi jaminan kelancaran
pelaksanaannya. Dengan demikian, pelatihan menjadi agenda wajib bagi seluruh
teknisi atau operator. Karena dari pelatihan itulah mereka akan bisa mengawal
pelaksanaan UN dengan benar.
Hal yang
lebih utama adalah penyiapan adaptasi siswa. Bukan hal mustahil siswa masih
gagap sehingga gugup menggunakan perangkat komputer. Memang benar bahwa siswa
yang akan melalui ujian ini termasuk generasi internet (generasi Z) sehingga UN
daring boleh dikatakan justru mengakomodasi kemampuan mereka dalam berinteraksi
dengan perangkat TI dan internet. Namun, sekali lagi, tidak semua anak-anak
generasi Z dari Sabang sampai Meurake mempunyai kemampuan yang sama di bidang
TI. Faktor geografis dan kemampuan dukungan infrastruktur TI yang memadai akan
menjadi jurang pemisah.
Bayangkan
ketika siswa, guru, dan sekolahnya berada di posisi geografis yang sulit untuk
bisa mengakses internet ataupun pasokan listrik. Maka, menghadirkan UN daring
di semua sekolah adalah tantangan besar Kemdikbud pada tahun-tahun selanjutnya.
Selanjutnya,
faktor psikologis tetap perlu diperhatikan karena, sampai dengan saat ini,
hampir seluruh siswa masih terkondisikan mengerjakan uji coba UN dengan LJK,
baik di tingkat sekolah, daerah, maupun provinsi. Pelatihan intensif (drilling)
soal sudah berlangsung sejak awal semester, menjadikan mereka jenuh, lelah, dan
sarat beban. Sementara uji coba UN secara daring belum juga dimulai. Ini
bukanlah perkara yang mudah karena siswa, operator, ataupun sekolah
penyelenggara tak punya banyak waktu lagi.
UN tinggal
menghitung hari. Semua harus bergerak cepat, bersinergi dan berkoordinasi untuk
hasil yang optimal. Terobosan yang dilakukan Kemdikbud dalam memperbaiki sistem
dan pelaksanaan UN layak didukung dan diapresiasi, dengan catatan pemerintah
benar-benar siap dan konsisten merintis perubahan ini.
Penerapan
teknologi dan informasi sebaiknya bukan hanya pada UN, melainkan juga mulai
diterapkan dalam sistem pembelajaran dan akan lebih lengkap lagi jika
diintegrasikan dalam bentuk-bentuk evaluasi belajar. Semoga.
ARIFAH
SURYANINGSIH GURU SMKN 2 SEWON, ALUMNUS UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA DAN MM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Sumber: Kompas Cetak, 28 Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar