Artikel Kompas
Awas, Politik Genderuwo
Sindhunata
; Wartawan; Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta
|
" otoritas adalah semacam inteligensi sosial yang mampu menyelesaikan
dan mendamaikan pelbagai tuntutan sosial yang saling bertentangan "
( Sindhunata
; Wartawan; Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta)
DI perempatan sebuah kota terlihat dua
baliho besar berjajar. Baliho itu bergambar lelaki dan perempuan, dandanannya
mewah dan cantik.
Orang tahu, mereka sepasang suami-istri yang
sama-sama nyaleg untuk Pemilu 2014. ”Mohon doa restu”, demikian tertulis pada
baliho itu. Di mana-mana terlihat baliho atau poster caleg. Gambar-gambar
caleg tak dikenal tiba-tiba muncul. Untuk meyakinkan dirinya, caleg
mendompleng figur-figur terkenal. Maka di baliho-baliho atau poster-poster
itu kecuali foto diri mereka terpampang foto Megawati atau SBY atau Hamengku
Buwono IX atau Bung Karno. Gambar-gambar ini mengungkapkan, mereka sendiri
tak seberapa yakin akan otoritasnya karena itu mereka perlu nunut otoritas.
Muncul sebutan sinis: caleg bonek (modal nekat),
caleg waton maju (asal maju), caleg nyuwun pangestu (bermodal mohon doa
restu), caleg ojo lali jape methe coblos sedulur dhewe (pedomannya jangan lupa
cobloslah teman sendiri), dan lain-lain. Banyak orang yang potongan ataupun
auranya tak meyakinkan, tapi tak rikuh mengenalkan diri sebagai caleg. ”Wong
ingah-ingah ngono kok wani-wanine nyaleg yo? (Canggung dan wagu begitu kok
berani nyaleg ya),” begitu komentar orang.
Para caleg itu nyaris tak punya otoritas politik
yang diharapkan masyarakat. Otoritas
adalah fundamental bagi politik. Di zaman modern yang
amat kompleks, memperoleh otoritas di bidang mana pun, apalagi politik,
sesungguhnya bukan hal mudah. Otoritas adalah prasyarat bagi kepemimpinan.
Tak mungkin pemimpin menjalankan tugasnya bila tak punya otoritas. Dalam hal
ini otoritas adalah semacam inteligensi sosial yang mampu menyelesaikan
dan mendamaikan pelbagai tuntutan sosial yang saling bertentangan.
Ini mengandaikan, orang yang berotoritas sekaligus harus punya kematangan dan
keterampilan psikologis untuk berempati dengan kepentingan yang berseberangan
dengan kepentingan dirinya.
Bagi kebanyakan orang, melihat keutamaan lawan
bukanlah hal mudah. Biasanya orang hanya melihat apa yang negatif pada
lawannya. Lain dengan orang yang punya otoritas, apalagi otoritas politik. Ia
dengan mudah melihat keutamaan lawan, mengakuinya, dan mempersatukan
keutamaan yang ada untuk meraih tujuan bersama. Selain itu, otoritas
juga mensyaratkan, orang mampu berpikir dalam kedalaman dan keluasan, bukan
hanya untuk jangka pendek, melainkan juga jangka panjang. Kemudian ia
mesti mampu mengoperasionalkan semuanya dalam kebijaksanaan dan langkah
konkret. Karena itu, otoritas juga menuntut keterampilan-keterampilan
praktis, seperti kemampuan organisasi, koordinasi, dan manajemen.
Mudah pecah
Dalam khazanah filsafat politik, otoritas
diletakkan tidak dalam apa yang disebut die Politik, tapi dalam das
Politische. Die Politik adalah politik praktis sehari-hari, sedangkan
das Politische adalah politik sampai ke dasar-dasarnya. Das Politische bisa disebut fundamen yang memungkinkan politik
bisa berjalan. Namun, sering die Politik atau politik harian dan das
Politische atau fundamen politik saling bertentangan. Sebab, tak jarang
politik harian terjerumus ke omong kosong, kebohongan, janji palsu,
pendangkalan masalah, dan konsensus asal-asalan. Adapun fundamen politik
menghendaki kejujuran, ketulusan, kebenaran, pendalaman masalah, dan
pencapaian konsensus lewat pengambilan keputusan bermartabat.
Fundamen politik itu tak pernah bisa direduksi
melulu menjadi politik. Langkah politik pemerintah sebijak apa pun tetap
belum bisa mengungkapkan secara memadai nilai-nilai yang terkandung dalam
fundamen politik. Fundamen politik misalnya mengakui pertentangan antara
kawan dan lawan sebagai fakta abadi. Tetapi, diakui sebagai nilai yang abadi
pula bahwa manusia bisa menyelesaikan dan mempersatukan pertentangan itu.
Politik yang mengingkari fakta dan nilai ini akan mengingkari fundamennya.
Politik harus menerima dan menyelesaikan pertentangan kawan dan lawan, tapi
disertai kesadaran bahwa politik takkan pernah bisa menyelesaikan masalah itu
sampai tuntas. Menerima pertentangan sebagai fakta dan menyelesaikannya tanpa putus
asa walau sadar penyelesaian takkan pernah bisa setuntas-tuntasnya, itulah
salah satu fundamen politik demokrasi.
Fundamen politik macam itu lain dengan politik
dangkal-dangkalan yang mendoktrinkan bahwa kesatuan itu ada sejak semula
karena itu kesatuan mudah diusahakan. Bagi fundamen politik, bukan kesatuan,
melainkan perbedaan dan pertentanganlah yang ada sebagai awal. Penerimaan
akan perbedaan inilah dasar riil bagi politik sehingga politik dimungkinkan
untuk mengusahakan kesatuan secara riil pula. Intelektual Perancis, Oliver
Marchart, mengatakan, demokrasi bukanlah sesuatu yang pasti, melainkan
sesuatu yang akan selalu datang. Karena itu, dengan demokrasi, kita harus
selalu berani memulai hal baru dengan gairah, betapapun sulit dan perihnya.
Karena itu, jalan menuju demokrasi sangatlah panjang. Di Eropa pun pada
awalnya tiada demokrasi. Yang ada kekuasaan otoriter. Di Inggris, baru dengan
lahirnya Magna Charta 1215, kekuasaan absolut para raja dibatasi. Di Jerman,
tahun 1517 Martin Luther menyerang kekuasaan tanpa batas hierarki gereja.
Inilah saat benih kebebasan ditaburkan. Baru pada abad-abad berikutnya lahir
pikiran-pikiran baru, yang mengakhiri hak istimewa individu karena garis
keturunan, baik di bidang sosial maupun politik, dan dari sinilah lahir
demokrasi.
Di Perancis, Revolusi 1789 menumbangkan monarki
absolut. Toh baru seratus tahun kemudian muncul demokrasi yang relatif
stabil. Demokrasi itu pun sempat diguncang dengan pelbagai cobaan dan
gangguan: pemberontakan dan rezim teroris Robespierres, penumpasan perlawanan
para petani di Perancis wilayah barat, munculnya dua kekaisaran yang saling
berselisih dan menyeret seluruh Eropa dalam konflik dan peperangan, yang
menghancurkan rakyatnya sendiri (Die Zeit, 11/7/2013). Di Cile, jalan menuju
demokrasi juga harus didahului dengan tahun-tahun kelam di bawah rezim
diktator Augusto Pinochet. Hal sama dialami Indonesia. Sebelum merekah
reformasi 1998, 30 tahun kita hidup di bawah rezim Orba yang menindas kebebasan
dan memakan sekian banyak korban.
Stres sosial
Demokrasi memang nilai yang mahal. Dan, demokrasi
itu sangatlah rawan. Tak ada hal yang demikian mudah pecah seperti demokrasi.
Sekali demokrasi itu pecah, suatu bangsa bisa diporakporandakan oleh
kekacauan. Jalan termudah mengatasi kekacauan itu adalah otoriterisme atau
diktatorisme, yang di mana-mana sudah terbukti senang menindas dan meneguk
darah rakyat sendiri. Kita pun pernah mengalami itu. Betapapun rawannya, demokrasi
adalah bentuk pemerintahan yang paling tulus dan jujur karena hanya
demokrasilah tempat di mana rakyat diakui martabatnya dan bisa menuntut hak
dan menyalurkan aspirasinya.
Karena itu, betapapun sulitnya, demokrasi harus
tetap diperjuangkan. Dan, seperti terlihat di atas, tidaklah memadai jika
kita memperjuangkan demokrasi hanya lewat die Politik, tanpa das Politische
atau fundamen politik itu sendiri. Pada bangsa Indonesia, das Politische itu kiranya sudah dilihat
secara intuitif dan dirumuskan dengan jelas, yakni empat pilar hidup
berbangsa: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Seperti
das Politische lain, empat pilar hidup berbangsa tak bisa diperjuangkan
dengan tergesa-gesa, apalagi di tengah pertentangan dan perbedaan yang takkan
pernah tuntas terdamaikan. Perlu kesabaran dan napas panjang
memperjuangkannya.
Das Politische itu melingkupi
otoritas. Dan, hanya dengan otoritas, bukan
melulu dengan politik praktis, das Politische bisa dihidupkan dan dijalankan.
Empat pilar hidup berbangsa kita terkulai lemah dan nyaris lumpuh, mungkin
karena politikus-politikus kita sangat tidak mempunyai otoritas dalam lingkup
das Politische itu. Politikus kita, lebih-lebih anggota DPR, hanya pintar
bermain dalam ranah die Politik, hingga mereka menjalankan tugasnya dengan
dangkal, mengobral janji kosong, berbohong, dan membuat politik jadi politik
uang. ”Otoritas yang palsu membuat masyarakat stres dan sakit. Dan, di
antara segala stres, stres sosial adalah yang paling jelek,” begitu
dikatakan Andreas Meyer-Lindenberg, Direktur Pusat Kesehatan Jiwa Manusia, di
Mannheim.
Karena tiadanya otoritas berlingkup das Politische,
kita juga mengalami pelbagai stres sosial tak tertanggungkan. Kekerasan,
kriminalitas, dan pembunuhan, bahkan di kalangan remaja, seakan sudah jadi
hidup harian kita. Hidup sosial kita
jadi tidak nyaman. Belum lagi rasa tidak aman sosial karena keretakan
sosial dan agama yang disebabkan miskinnya otoritas politikus kita dalam
mengatasi gerakan kelompok yang mengancam fundamen politik kebinekaan dan
kesatuan bangsa.
”Nggege mangsa”
Otoritas itu tidak datang dengan sendirinya dan
tiba-tiba. Dalam rangka politik, apalagi berkenaan dengan fundamennya yang
terdalam, otoritas itu sesungguhnya
semacam kepercayaan. Artinya, otoritas itu bisa terjadi karena orang
percaya akan pribadi yang memiliki otoritas itu, dan kemudian mengakuinya.
Jadi, otoritas itu relasional.
Maka tak mungkinlah otoritas itu dibeli dengan uang atau diobralkan hanya
dengan kampanye politik. Untuk meraih otoritas itu, dibutuhkan waktu yang
harus dilewati dengan penuh kesabaran dalam membangun kepercayaan dan pengakuan.
Seperti demokrasi, otoritas juga perlu waktu dan
kesabaran. Dalam hal ini benar jika orang berkata: ”Kesabaran juga keutamaan
demokrasi.” Jika demikian benar pula dikatakan, kesabaran juga salah satu das
Politische dari demokrasi. Maka demokrasi bukan lagi sekadar politik,
melainkan juga perihal yang menyangkut kehakikatan, kebudayaan, dan
spiritualitas manusia, yang dalam hal ini adalah kesabaran.
Khazanah kebudayaan Jawa punya ajaran yang dalam
tentang kesabaran ini, yakni ojo duwe watak nggege mangsa. Banyak hal di
dunia ini tak bisa di-gege mangsa, termasuk kuasa. Kuasa iku ora bisa digege,
kuasa itu tidak bisa di-age-age, dimiliki dengan cepat dan tergesa-gesa.
Masuk akal, karena kuasa, apalagi dalam arti otoritas, tak tergantung melulu
pada kita yang ingin memilikinya, tapi tergantung kepercayaan, pengakuan
orang lain terhadap kita, dan relasi mereka dengan kita. Otoritas dalam paham
Jawa harus diraih perlahan-lahan. Orang yang ingin meraihnya harus sanggup
melewatkan waktunya dengan sabar, menyucikan diri hingga pikirannya wening,
bening, dan sanggup mengingkari kepentingan dirinya demi orang lain yang
nanti harus dilayaninya. Otoritas mengandaikan askese dan pengorbanan tiada
mudah.
Pemilu 2014 sudah di ambang mata. Pemilu kali ini
pun tampaknya dibayang-bayangi defisit otoritas. Caleg-caleg tak menunjukkan
diri punya kualitas berotoritas. Banyak pula yang kelihatan tak menawarkan
apa-apa kecuali citra. Maklum sebagian besar caleg nggege mangsa. Petuah
Jawa, orang nggege mangsa biasanya pikirannya tak penuh, tak bisa bening,
gampang kacau, orangnya tak pedulian dan tak berempati, akalnya menyimpang ke
sana kemari, gampang terkena godaan, tak punya kemantapan, orang yang tak
bisa dipercaya dan memang tak bisa dipercaya. Rincian watak nggege mangsa
yang ditampakkan terang-terangan oleh banyak anggota DPR periode 2019-2014
akan nongol kembali karena 90 persen mereka mencalonkan diri lagi.
Dalam suatu pentas dagelan, pelawak Marwoto Kawer
pernah berkisah: dulu anak-anak kecil sering ditakut-takuti, jangan kamu dekat-dekat
ke pohon-pohon yang rindang karena di sana ada genderuwo. Kalau dekat-dekat
ke pohon-pohon itu, kamu bisa digondol genderuwo. Sekarang pohon-pohon itu
malah banyak dipasangi dan dipenuhi gambar-gambar para caleg. ”Kok,
berani-beraninya, ya, mereka tinggal di pohon-pohon itu? Mereka itu siapa,
ya? Jangan-jangan
mereka juga genderuwo,”
kata Marwoto, yang disambut riuh tawa para penonton.
Mungkin saja memang, karena miskin akan otoritas
yang dibutuhkan oleh demokrasi, caleg-caleg yang nggege mangsa itu bakal
menjadi ”genderuwo politik”, yang menggelisahkan dan menakutkan masyarakat.
Kita patut takut pada ”politik genderuwo” itu karena politik itu pasti akan
menyebabkan stres sosial, stres yang terjelek dari segala stres. Karena ulah
mereka yang kurang berotoritas politik ini bisa-bisa bangsa ini dibawa pada
depresi sosial yang sulit disembuhkan. Dan, bolehlah kita ingat bahwa
mereka-mereka yang kurang berkualitas dalam otoritas tapi berkuasa biasanya
cenderung otoriter dan bisa menjerumuskan bangsa ke dalam otoriterisme.
Bahaya otoriterisme karena lemahnya otoritas demokrasi itulah ”genderuwo
politik” yang paling harus kita takuti. Maka, kita mesti ekstra kritis dan
waspada kepada para ”genderuwo politik” itu jika mereka berkuasa nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar