Desain
Baru Ujian Nasional
Darmaningtyas
; Aktivis Pendidikan di Taman
Siswa Yogyakarta
|
MEDIA INDONESIA, 28 Januari 2015
UDARA segar bertiup dari Kementerian Kebudayaan
dan Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikbud), tat kala Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan, Anies Baswedan, dalam rapat terbatas di Kantor BSNP pada
tanggal 16 Januari menjelaskan mengenai paradigma pendidikan nasional ke
depan.
Termasuk desain baru ujian nasional
(UN)
yang tidak lagi sebagai penentu
kelulusan,
tetapi sebagai sarana pemetaan
kualitas pendidikan
dan sekaligus kepentingan diri murid
untuk melihat perkembangan dirinya dalam belajar.
Selama ini UN mempunyai banyak fungsi, yaitu
1. pemetaan
kualitas pendidikan,
2. sarana
masuk ke pendidikan yang lebih tinggi,
3. dan
penentu kelulusan.
Namun, fungsi yang cukup menghebohkan ialah sebagai penentu kelulusan karena
melalui UN itulah nasib seseorang murid, yakni lulus atau tidak ditentukan.
Semua sekolah dan pemkab/pemkot berharap murid mereka lulus seratus persen,
maka segala upaya dilakukan untuk mencapai target tersebut.
Pemandangan yang selalu muncul setiap tahun,
terutama saat menghadapi UN ialah murid, orangtua, guru, dan pemda/pemkot
disibukkan dengan persiapan UN.
a. Murid
harus belajar ekstra melalui bimbingan belajar (bimbel),
b. orangtua
harus keluar uang ekstra untuk mengikutkan anaknya ke bimbel,
c. sekolah
sibuk dengan memberikan materi tambahan yang bersifat drilling, dan
d. Pemkab/
Pemkot pun sibuk membentuk tim sukses agar UN dapat sukses dengan indikator
semua sekolah dapat lulus 100% serta meraih nilai UN tertinggi.
Akhirnya, setiap kali menjelang pelaksanaan UN,
muncul perilaku yang berlebih,
seperti
1. murid
menginap di sekolah dan melakukan doa bersama,
2. murid
membasuh kaki gurunya,
3. mandi
pakai bunga,
4. menangis
histeris,
5. dan
sebagainya.
Perilaku-perilaku menjelang pelaksanaan UN itu
sering terlihat irasional, padahal UN mestinya memerlukan pendekatan
rasional. Kemendikbud pun turut bertindak secara irasional dengan
membuat
soal mencapai 20 tipe dengan maksud agar tidak mudah bocor dan tidak mudah
untuk nyontek karena soal temannya belum tentu sama dengan soal dirinya.
Para Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)
sebelumnya selalu mencoba mengubah formula kelulusan dengan menda sarkan pada
hasil UN tersebut, misalnya
dari penggunaan hasil UN sebagai
penentu kelulusan 100%,
kemudian turun menjadi 60%, dan sekarang
tinggal 50%.
Mendikbud Mohammad Nuh justru memasukkan hasil UN
sebagai salah satu syarat penerimaan mahasiswa di PTN. Semuanya itu tidak
secara otomatis mengakhiri kontroversi UN, tetapi justru semakin marak karena
sejumlah pimpinan PTN merasa keberatan dengan dicantumkannya UN sebagai
syarat penerimaan mahasiswa baru. Dengan kebijakan atau desain baru mengenai
UN tersebut diharapkan dapat mengakhiri kontroversi yang tidak produktif
selama ini menyangkut UN.
Implikasi
teknis
Apa implikasi teknis dari desain baru mengenai UN
bukan sebagai penentu kelulusan, melainkan sebagai alat pemetaan kualitas
pendidikan nasional.
1. UN
tidak harus dilaksanakan di ujung kelas (kelas VI, IX, dan XII), tetapi bisa
dilaksanakan di tengah kelas (kelas IV, VIII, dan XI). Itu bisa saja
dilaksanakan di ujung kelas, misalnya di akhir semester ganjil atau semester
ganjil kelas VI, IX, dan XII.
2. Hasil
UN tidak berpengaruh terhadap lulus tidaknya murid, tetapi hanya untuk
mengetahui daya serap murid, guru, sekolah, dan daerah sebagai dasar bagi
pemerintah untuk melakukan pembinaan terhadap sekolah ataupun pemkab/pemkot
yang memiliki daya serap rendah. Kelulusan sepenuhnya menjadi otonomi
sekolah.
3. Berdasarkan
hasil UN tersebut pemerintah/pemda dapat melakukan pembinaan secara khusus
kepada sekolah-sekolah yang memiliki nilai UN rendah agar dalam UN berikutnya
dapat meningkat sehingga terjadi pemerataan kualitas pendidikan antar sekolah
dan daerah.
Tentu saja, karena
fungsinya itu tidak menentukan lulus atau tidaknya seorang murid, maka
namanya pun bukan ujian lagi, melainkan evaluasi. Seperti halnya evaluasi
suatu program tertentu, akan menghasilkan kesimpulan baik, tidak, atau kurang
baik, dan sejenisnya.
Namun,
ujian akan menghasilkan kesimpulan lulus atau tidak.
Desain baru UN yang bukan lagi sebagai penentu
kelulusan, melainkan sebagai alat evaluasi itu tertuju untuk institusi
ataupun individu. Baik sekolah sebagai institusi maupun murid secara
individual bisa mengikuti ujian itu sesuai dengan kebutuhan dan negara wajib
memfasilitasinya. Oleh karena itu, dalam desain baru tersebut dimungkinkan
seorang murid mengulang ujian lebih dari satu kali.Namun, minimal satu kali
dalam satu tingkatan pendidikan dapat mengikuti UN bila ingin mengetahui
perkembangan belajarnya, persis seperti halnya tes TOEFL atau IELTS. Tes
pertama biasanya ingin mengetahui posisi awal skor TOEFL atau IELTS-nya.
Ketika mengetahui skornya ternyata rendah, kemudian belajar lebih giat dan
berkeinginan mengikuti tes lagi untuk mengetahui skor barunya. Mereka dapat
mengikuti tes TOEFL atau IELTS secara periodik sesuai dengan kebutuhannya.
Hal yang sama itu akan terjadi pada desain baru UN
sehingga diharapkan dapat mendorong murid untuk belajar lebih giat. Bukan
sebagai suatu paksaan agar lulus sekolah, melainkan sebagai kesadaran diri
agar kemampuannya meningkat. Dengan kata lain, desain baru UN tersebut tidak
perlu dikhawatirkan akan melemahkan semangat belajar murid hanya karena tidak
sebagai penentu kelulusan.
Sebaliknya, semangat belajar itu justru akan
tumbuh dari dalam diri murid karena mereka sendirilah yang didorong untuk
menguji kemampuannya melalui model-model tes secara berkala. Bagi murid SMK,
UN bahkan tidak diperlukan sama sekali karena yang menentukan mereka diterima
oleh pasar tenaga kerja atau tidak, bukan hasil UN, melainkan kompetensi yang
dimilikinya.Sehingga, yang diperlukan SMK bukan menyiapkan mereka untuk
menghadapi UN, melainkan pemagangan kerja yang lebih banyak.
Selama ini, para pembela UN berusaha
mempertahankan UN sebagai penentu kelulusan dengan alasan bahwa murid malas
belajar bila tidak ada UN. Argumen itu dianut mere ka yang meyakini bahwa
mengajar untuk ujian atau tes saja. Paradigma seperti itu sudah ditinggalkan
negara-negara maju yang lebih memilih mengajar untuk mendorong tumbuhnya
semangat belajar pada murid, bahkan lebih luas lagi pada masyarakat.
Finlandia,
negara kecil dengan jumlah penduduk yang hanya sekitar 4,5 juta jiwa, tetapi
pendidikan mereka menjadi kiblat dunia, termasuk Indonesia, bukan karena
menerapkan UN, melainkan justru karena tidak ada UN. Sekolah mendorong agar
murid lebih banyak belajar,
sedangkan
kelulusan diserahkan pada sekolah.
Kebijakan Mendikbud Anies Baswedan yang menjadikan
UN
sebagai kebutuhan sekolah dan murid
untuk
mengukur kemampuan diri
seperti halnya tes TOEFL atau IELTS bukan sebagai
penentu kelulusan, itu patut diapresiasi karena
akan mengakhiri kontroversi UN selama 13 tahun berturut-turut.
Dengan berakhirnya kontroversi yang penuh
kesia-siaan itu, harapan Mendikbud bahwa pendidikan sebagai gerakan akan
dapat terwujud karena energi masyarakat tidak lagi tercurah untuk silang pendapat
tentang UN, tetapi dapat diarahkan untuk
a. menumbuhkan
suasana lingkungan belajar yang kondusif,
b. membangun
budaya literasi di masyarakat,
c. serta
melakukan pengembangan model-model pembelajaran yang menarik agar anak-anak
tetap antusias bersekolah.
Justru karena ada UN selama ini yang membuat
mereka takut, cemas, dan seperti terteror setiap saat.
Bersekolah
hendaknya menjadi aktivitas yang menggairahkan, dan institusi sekolah
mestinya menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak.
●
|
|
Sumber :
Budisan’t blog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar