Kamis, 29 Januari 2015
TAJUK RENCANA Setelah Sekolah Tanpa UN (Kompas)
KITA dukung keputusan ujian nasional tidak lagi jadi penentu kelulusan
siswa. Keputusan itu perlu diikuti kebijakan bahwa evaluasi tetap
penting.
Ujian nasional (UN) terus menuai pro dan kontra. UN diberlakukan setelah
ujian sekolah (US) dihapus. Alasan dan latar belakangnya mirip. Di
antaranya mengatasi berbagai faktor psikologis peserta, kecurangan, dan
biaya tinggi. Berbeda dengan UN sebelum tahun 1971, diselingi US
beberapa tahun, UN dihadapi biasa-biasa saja.
Sepakat penilai evaluasi paling ideal adalah sekolah, itu berarti guru.
Dalam praksis pendidikan semasa UN, yang dinilai hanya satu aspek
pendidikan, yakni aspek kognitif. Itu pun hanya dipilih beberapa mata
pelajaran, sejumlah mata pelajaran pokok dan penting yang menyasar aspek
kognitif dan komunikatif, minus pembentukan karakter. Sejalan dalam
alur serba permisif dan pragmatis, mendahulukan hasil daripada proses,
wacana sisi negatif UN pun lebih berkembang dibandingkan sisi
positifnya.
Keputusan penghapusan UN melegakan, sekaligus menyisakan pekerjaan
rumah, khususnya kementerian teknis Dikbud: mencegah berkembangnya
kecenderungan dalam konteks pragmatisme masyarakat. Pragmatisme, antara
lain, berupa kemudahan sekolah meluluskan, merosotnya motivasi
siswa—dampak negatif yang pada gilirannya ikut andil dalam kemerosotan
mutu bangsa.
Agar spekulasi di atas tidak terjadi, perlu diselenggarakan praksis
pendidikan yang kondusif-produktif. Praksis pendidikan tidak terutama
berpangkal pada ujian, tetapi proses. Agar praksis berjalan baik, tiga
hal perlu dipenuhi, menyangkut kemampuan, kesempatan, dan intensivitas
belajar. Ketiganya saling berkelindan.
Dalam hal evaluasi, relevan menerapkan model Warren Piper tentang
kualitas manajemen pendidikan (1993). Yang perlu terus dikembangkan
adalah murid, guru, dan lembaga pendidikan. Ketiganya bersifat simbiosis
mutualisme dalam mengembangkan efektivitas praksis pendidikan. Evaluasi
atau penilaian praksis belajar yang ideal didasarkan atas penilaian
ketiga pihak tersebut. Evaluasi pun harus dilakukan dari waktu ke waktu.
UN tidak ideal, apalagi kemudian ditetapkan pula sebagai sarana pemetaan
mutu siswa dengan kondisi yang serba beragam seperti Indonesia. Ideal
UN sekadar keharusan perlunya dicapai standardisasi minimal kurikulum,
yang memang harus dihasilkan setiap jenjang pendidikan. Dan, ketika
nafsu pragmatis dan permisif dominan, UN semakin tidak sah menjadi
pertanda keberhasilan.
Agar keputusan Menteri Anies Baswedan efektif dan produktif, perlu
ditindaklanjuti sejumlah perubahan mendasar, mengacu pada tetap perlunya
KTSP berstandar nasional dan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Praktisnya, agar evaluasi hasil dirasakan menyatu dengan proses,
evaluasi perlu dilakukan terus-menerus. Dalam hal ini, peranan penilik
sekolah bidang pendidikan sangat sentral dan strategis, yang perlu
diberi pisau lebih tajam.
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Kolam
Kepemimpinan
HERRY
TJAHJONO Terapis Budaya Perusahaan
Kompas, Senin, 16 Februari 2015
Kompas, Senin, 16 Februari 2015
Gambar : vektor10.deviantart.com
“manusia (pemimpin) secara adaptatif
akan survive, dan meski megap-megap kemasukan air dan berkali-kali nyaris
tenggelam, pada akhirnya dia akan bisa berenang (memimpin) dengan baik” , HERRY
TJAHJONO.
Di balik beberapa terobosan kinerja pemerintahan dan
kepemimpinannya—baru dalam hitungan beberapa bulan saja—Presiden Joko Widodo
sudah bikin geger jagat politik nasional, dan sebetulnya lebih tepat disebut
"chaos" politik berupa konflik KPK vs Polri yang eksesnya merembet ke
mana-mana.
Dan, konflik KPK vs Polri ini merupakan simbol dari
betapa karut-marut dan bobroknya dimensi kehidupan interaktif elite bangsa
negeri ini.
·
Apakah Jokowi salah?
·
Apakah Jokowi tak kompeten sebagai
pemimpin (presiden)?
Mari kita bedah melalui pisau analisis organisasi
yang disebut praksis kepemimpinan.
Tangga
kepemimpinan
Dalam praksis kepemimpinan, secara sederhana ada dua
pendekatan dalam memilih pemimpin. Pertama, praksis yang disebut "tangga
kepemimpinan". Praksis ini banyak dipraktikkan di berbagai
organisasi, seperti industri misalnya.
Prinsipnya, seorang pemimpin mencapai puncak
karier kepemimpinannya setelah dia melewati beberapa anak-tangga kepemimpinan,
mulai dari yang bawah sampai atas. Pesan terpenting: setiap anak-tangga
kepemimpinan mesti dijalani dan diselesaikan secara tuntas, baru dia menapak
pada anak-tangga kepemimpinan di atasnya, demikian seterusnya.
Jokowi, jelas
tidak mengikuti praksis tangga kepemimpinan ini. Singkatnya, ketika dia berada
pada anak-tangga kepemimpinan sebagai wali kota Solo—sebelum dijalani
tuntas—dia sudah menapak ke anak-tangga berikutnya: gubernur DKI Jakarta. Dan
sebelum anak-tangga kepemimpinan gubernur DKI Jakarta dijalani dan diselesaikan
tuntas, dia sudah menapak ke anak-tangga kepemimpinan tertinggi negeri ini:
sebagai presiden RI.
Kedua, praksis kepemimpinan "kolam
kepemimpinan".
Praksis
ini—sepanjang
yang saya tahu— dijalankan oleh sebagian konglomerat bisnis di negeri ini.
Prinsipnya, seorang calon pemimpin dengan sengaja dan begitu saja
dicemplungkan, dimasukkan ke kolam kepemimpinan tertinggi, meskipun dia belum
punya pengalaman kepemimpinan yang matang atau melewati anak-tangga
kepemimpinan secara tuntas.
Pesan
terpenting: manusia (pemimpin) secara
adaptatif akan survive, dan meski megap-megap kemasukan air dan berkali-kali
nyaris tenggelam, pada akhirnya dia akan bisa berenang (memimpin) dengan baik.
Terkait konteks tema tulisan ini, Jokowi menduduki
takhta RI 1 lewat praksis kolam kepemimpinan ini. Jadi, jangan heran jika
sampai beberapa waktu ke depan nanti dia akan sering megap-megap dan nyaris
tenggelam di kolam kepemimpinan RI 1. Chaospolitik berupa konflik KPK vs Polri
yang eksesif ini adalah konsekuensi logis dari praksis kolam kepemimpinan
Jokowi. Kita, sebagai rakyat sekaligus sebagai boss negeri ini —justru yang
mencemplungkan Jokowi ke kolam kepemimpinan RI 1 ketika memilihnya sebagai
presiden.
Beberapa pesan penting dari praksis kolam
kepemimpinan Presiden Jokowi adalah:
(1) pola perilaku kepemimpinan trial
and error akan sering dilakukan oleh Jokowi.
Ini merupakan konsekuensi logis dari praksis
kolam kepemimpinan. Sampai berapa lama pola trial and error ini berlangsung?
Tergantung daya adaptasi Jokowi sebagai seorang pribadi. Pola kepemimpinan
trial and error ini sesungguhnya akan dilakukan juga melalui (oleh) praksis
tangga kepemimpinan, namun frekuensinya tidak setinggi praksis kolam
kepemimpinan. Makin tinggi trial and error, risiko tentunya makin tinggi. Dan,
terlepas adanya unsur politis atau lainnya, kasus pengusulan Budi Gunawan
sebagai Kepala Polri, hanya salah satu dari pola trial and error yang dilakukan
Jokowi,
Kemudian,
(2) praksis kolam
kepemimpinan seperti ini (terlebih untuk organisasi Indonesia dengan level
tertinggi sebagai presiden), memerlukan
lingkar-lingkar kepemimpinan (tim-tim)—terutama lingkar pertama (ring 1)—yang kuat dengan satu syarat mutlak
terpenting berupa integritas.
Lingkar pertama itu
harus berisikan orang-orang dengan integritas tertinggi yang tak bisa ditawar.
Integritas tertinggi itu berupa "kesediaan, ketulusan, sekaligus
keberanian untuk menempatkan kepentingan bangsa (rakyat) di atas kepentingan
pribadi dan partai.
" Orang-orang
lingkar pertama ini adalah yang sehari-hari berada di sekitar presiden, yang
paling sering berinteraksi, dan paling punya akses langsung dan cepat ke
presiden. Lingkar pertama inilah yang akan menjadi fungsi direct support kepada
presiden agar pola trial and error dengan risiko bersifat kontraproduktif tak
perlu dilakukan.
Selanjutnya,
(3) pesan paling esensial tentunya bagi
Presiden Jokowi sendiri, yang justru harus lebih fokus pada kelebihan utamanya
sebagai seorang pribadi pemimpin selama ini. Kekuatan Jokowi selama ini—yang
bahkan mampu melewati dan menaklukkan berbagai kepentingan politik dan
"mau tak mau" membuat orang menempatkannya sebagai presiden adalah proses penemuan "diri ideal" atau "diri
otentik"nya sebagai seorang pribadi pemimpin.
Otentisitas Jokowi
Mengadaptasi Daniel
Goleman, "diri ideal" dijelaskan sebagai mekanisme dan proses: bagaimana kita
menginginkan diri kita sendiri, menjadi pribadi seperti apakah yang kita
inginkan, termasuk apa yang kita inginkan dalam hidup dan pekerjaan.
Sedangkan secara filosofis dan klasik, Martin
Heidegger—seorang filsuf Jerman terkemuka bicara tentang authenticity—yang
bisa diartikan sebagai seseorang yang
paham akan struktur eksistensi dirinya sendiri.
Otentisitas,
diri otentik– mengarahkan
manusia untuk mengambil tanggung jawab atas diri dan hidupnya sendiri, sehingga
untuk itu dia harus memilih identitas dirinya sendiri. Lingkungan, mulai
dari masyarakat, keluarga, sekolah atau lainnya, sering memaksakan sebuah
"identitas" bagi diri kita. Akibatnya, kita sering mengikuti apa yang
diminta lingkungan dari diri kita. Itu sebabnya, kita tidak bisa menjadi
pribadi yang otentik.
Diri
ideal, diri otentik—bukanlah "diri yang diharuskan"—
dan diri ideal atau diri otentik inilah yang selama ini menjadi kekuatan utama
seorang Jokowi. Ketika dia menjadi demikian tegas, kuat, dan berani melakukan
berbagai manuver dan keputusan kepemimpinan untuk "kepentingan rakyat dan
bangsa"—dari menenggelamkan kapal pencuri ikan, mendatangi Prabowo
Subianto sesaat setelah terpilih, makan siang dengan para penentangnya,
menceburkan diri di tengah sawah dan bencana—itu semua refleksi dari diri ideal
atau otentiknya.
Namun, soal pencalonan Budi Gunawan dan susah serta
lambannya dia mengambil keputusan atas berbagai ekses yang terjadi adalah
refleksi dari "diri yang diharuskan" (bukan diri ideal/ otentiknya).
Kita telah mencemplungkan Jokowi ke kolam
kepemimpinan bangsa,
tugas kita sekarang adalah menyaksikan, mendukung, menyemangati
— ketika
ia megap-megap dan hampir tenggelam —
agar dia bisa segera "berenang"
(memimpin) dengan baik negeri ini.
Dan, Jokowi sendiri, harus konsisten terus memimpin
berlandaskan diri ideal/otentiknya—apa pun risiko yang dihadapinya dalam kolam
kepemimpinan.
Sumber :
Kompas, Kritik
Bagi Pemimpin, doa-bagirajatega.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar