Jual
sate kambing tua
sate kambing tua
“ Satu
ons kesan berharga satu ton persepsi”
(tidak
dikenal )
Pada liburan natal 2012
kemarin, kami sekeluarga berkunjung ke rumah orang tua di Klaten, Jawa Tengah.
Di sana kami bertemu sanak keluarga kami
dari kota yang lain. Memang ada 2 kakak kami yang berhalangan ‘pulang’ Klaten. Tak terasa saya sudah di panggil
dengan sebutan ‘mBah kung’, karena keponakan saya sudah menikah dan mempunyai
seorang bayi. Dalam peretemuan keluarga besar biasa kami ngobrol tentang apa saja ,
khususnya cerita masa lampau. Sore hari kami ngobrol di ‘buk’
depan, keponakan kami yang sudah menikah, cerita yang bernuansa ‘protes’.
Dina bercerita saat dulu merasa ‘dibohongi saya, omnya. Memang dulu saya
sering antar 2 keponakan, Dina dan Andi masih sekolah
SD, pulang dari Klaten ke rumahnya di
daerah Sukoharjo naik sepeda motor. Saat tengah perjalanan sekitar daerah
Pakis,Klaten, pulang ke daerah Ciu, sukoharjo, Dina merasa lapar sedangkan adiknya, Andi, merasa haus. “ Om, makan dulu om, lapar nih!” kata Dina. “ yah
Om, Andi juga haus nich!...” kata Andi adiknya. “ berhenti dulu om, cari
makanan dan minum, om!..” kata mereka dengan wajah memelas karena kelaparan dan
kehausan. Saya berpikir uang yang ada
pasti tidak cukup untuk makan dan minum kami bertiga, tapi keponakan minta makan dan minum. Pusing
juga saya menjawabnya, sambil tetap mengendarai sepeda motor. Ah…. saya dapat
akal, “ Entar kamu lihat kalau ada yang jual sate kambing tua atau ada yang
jual es kelapa tua, kita berhenti untuk
makan dan minum”, kata saya sekenanya. Mereka berdua bersemangat melototi
warung-warung di sepanjang jalan yang bertuliskan ‘Jual sate kambing tua’ atau
‘jual es kelapa tua’. Rasa ngantuk mereka menjadi hilang dan bersemangat lagi.
Saya di’untungkan’ karena tidak merasa berat saat boncengin orang yang
ngantuk dan resiko jatuh karena ngantukpun berkurang.
Lancarlah perjalanan kami hingga rumah di Sukoharjo. Tiba di rumah, Anin dan
Andik bertanya kepada papa dan mamanya, karena sepanjang jalan tadi tidak ada
yang jual sate tua dan air kelapa tua. “ Pa …ma… di mana ada warung yang jual
sate kambing tua atau air es kelapa tua? ‘ kata mereka serentak. Mendengar
pertanyaan tersebut kakak saya langsung paham bahwa omnya mengarang cerita
karena tak punya uang cukup. Sambil tersenyum dan menepuk pundak kedua
anaknya, kakak saya
berkata, “ Tidak ada orang jual sate kambing tua atau air es kelapa tua, yang ada jual sate kambing muda
dan jual air es kelapa muda”. Kemudian ia melanjutkan, “ Om tidak berbohong,
karena om tidak membawa uang cukup untuk makan dan minum, serta tidak tega menjawab ‘tidak’, maka om
‘mengarang’ seperti itu”. Sontak keponakan saya ‘memukuli’ saya sambil
tersenyum dan meledekin saya ……. Kemudian kami semua tertawa mendengar cerita
yang sangat runtut dari keponakan kami tersebut. Yah…. cerita tadi sangat ‘menghibur’
saat kami sekeluarga bertemu seperti ini
Dalam pendidikan
Dalam hati saya
bertanya, “hebat benar keponakanku ini sampai mengingat secara detail kejadian
yang sudah puluhan tahun yang lalu’, bukan 'karangan/kebohongan' yang ingin saya angkat, tapi pengalaman yang telah menjadi 'milik' diri Saya berandai-andai bila saya mengajar,
saya mampu menggunakan pengalaman-pengalaman siswa berarti saya sebagai guru
hanya membantu dalam proses pembentukan tersebut. Dari peristiwa tadi saya teringat teori
pendidikan menurut Peter l Berger
(1996) pada hakikatnya “ manusia
memproduksi dirinya sendiri melalui pengalaman dalam realita social”. Sebagai
pendidik (orang tua maupun guru ) hendaknya mampu menciptakan pengalaman-pengalaman
belajar melalui peristiwa-peristiwa sosial yang beraneka ragam. Sehingga anak
mampu menemukan jalan keluarnya sendiri. Menurut Renald Kasali, sebagai pendidik yang baik justru bercerita tentang kehidupan
(context) yang didiami anak didik. Bagi mereka memory tak hanya ada di kepala,
melainkan ada di seluruh tubuh manusia. Memory manusia yang kedua ini dalam biologi dikenal
sebagai Myelin dan
para neuroscientist modern
menemukan myelin adalah
lokomotif penggerak (muscle memory).
Di dalam ilmu manajemen, myelin adalah faktor pembentuk harta tak kelihatan
(intangibles) yang sangat vital seperti gestures, bahasa tubuh, kepercayaan,
empathy, ketrampilan, disiplin diri, dan seterusnya.
Sebagai pendidik saya menyakini benar apa yang pernah
dikatakan ST Kartono bahwa sarana paling
efektif dalam mendidik anak-anak kita adalah pengalaman nyata, bukan simulasi, pun
bukan rekayasa. Kaum konsstruktovisme di bidang pendidikan berpandangan bahwa
kegiatan belajar adalah kegiatan siswa yang aktif membangun sendiri
pengetahuannya. Siswa mencari sendiri makna yang mereka pelajari. Siswa sendiri
yang menyusun penalaran atas pengalaman yang telah dipelajari, membandingkannya
sendiri dengan apa yang telah dipelajarinya. Saya teringat bagaimana anak saya mampu menegur saya,
sebagai orang tua, karena meletakan sepatu, sandal atau barang lainnya tidak
pada tempatnya. “ Papa tidak tertib”, kata Alfons anak saya yang sulung sambil
dia sendiri meletakkan pada tempatnya. Karena waktu kecil sering melihat kami
orang tuanya meletakan sepatu sandal dan barang lainnya pada tempatnya. Kami memang menyediakannya
serta istri selalu memberikan tuntunan
meletakan barang pada tempatnya, kemudian anak meniru secara berulang-ulang,
sehingga kegiatan tersebut anak menemukan pengalaman belajar sendiri. Atau si
kecil, Christo, setiap mau pergi, mengingatkan saya menutup dan merapikan sesuatu sebelum pergi, “ tutup
dulu!....kembalikan dulu!” katanya.
Mendidik anak memang perlu kreativitas dari kita sebagai
orang tua, kita harus mampu menghadirkan dan menciptakan suasana yang akan
menjadi pengalaman belajar. Tugas kita hanya membantu sebagai mediator dalam
proses pembentukan tersebut. Mari kita damping anak kita, di sekolah maupun
anak kita di rumah, dengan menciptakan pengalaman belajar, meskipun untuk itu
kita harus mau repot.
Bacaan :
1.
Renald Kasali, “Dua Jenis Guru “ Koran Sindo 5 Mei 2011.
2.
ST. Kartono, “Menjadi guru untuk muridku”, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,2011
3. Utomo Dananjaya, “ Media Pembelajaran Aktif”,Penerbit
Nuansa, Bandung,2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar