Papa
lupa ya...
gambar : dokpribadi
"Sebuah
pelukan akan memberikan kabaikan,
terutama
untuk anak-anak"
(Lady Diana, Putri Kerajaan Inggris,
1961-1997)
Pulang sekolah saya biasa disambut
dengan kemunculan anak saya yang kecil, menyapa dengan sangat gambira, “Papa
pulang, …papa dari mana? Papa bawa apa itu?” meski lelah dan kadang sudah
ngantuk, melihat dan mendengar sapaan anak yang penuh semangat membuat saya menjadi
kembali semangat. “ Papa pulang kerja sayang…ini berisi buku-buku” jawabku sambil
jongkok mendekatkan diri dengan anak. Anak saya tersenyum, lalu mengajak untuk
bermain sepeda. “ Ya ….papa ganti baju
dulu ya” jawabku sambil copot sepatu langsung masuk rumah. ”Papa …papa sini
dulu…” panggil anak saya yang masih berdiri di teras depan. “Ada apa ? “
tanyaku. “Papa lupa ya…” sambil menunjukkan sepatu saya yang belum diletakkan
ditempat rak sepatu yang berada diteras depan .
Kami membiasakan meletakkan sepatu pada tempatnya, rak sepatu. Yah
… malu sekali, saya tidak meletakan sepatu pada tempatnya, lebih malu karena
mendapat teguran halus ‘papa lupa ya’. Anak jarang menegur dengan kata ‘tidak’, papa tidak tertib.
Juga dalam peristiwa lain, saat membuka
kemasan minuman karena mengalami kesusahan kadang saya membukanya dengan digigit
, melihat itu anak spontan “Papa lupa ya…gini papa membukanya dengan ditarik
tangan” jelas anak saya. Akhirnya saya kembali berusaha membuka dengan tangan
dan berhasil. Melihat saya berhasil
membuka dengan tangan anak menyahut ” tu papa tadi lupa khan”.
Dalam hal ketidak tertiban lain, anak saya lebih menggunakan kata “lupa’ untuk sesuatu yang
sebenarnya merupakan tindakan yang tidak sesuai. Ini menurut saya mengandung
ajakan untuk selalu melakukan sesuatu dengan semestinya dan mengingatan secara halus, sehingg membuat
orang lain tidak tersinggung. Inilah cara anak ‘menegur’ orang dewasa.
Saya kadang merefleksikan hal itu,
menjadikan saya lebih berhati-hati dalam pendampingan anak. Saya menyadari anak
lebih melihat tindakan orang tua ( orang dewasa) disekitarnya untuk dijadikan
model perilakunya. Saya jadi teringat kepada siswa saya disekolah, mereka lebih
melihat bagaimana bapak ibu guru mengajar dan berperilaku, itu yang akan diingat dan dilakukan juga oleh para
siswa. Memang berat menjadi orang tua dan guru, setiap ucapan dan tindakannya
selalu menjadi model bagi anak dan siswanya. Tapi saya yakin apabila orang tua
dan guru melakukan sesuatu dengan hati, maka hal itu bukan hal yang
memberatkan.
Teringat sebuah tulisan dari A.
Mintara Sufiyanta, SJ, Cinta kasih yang tulus yang diberikan orang tua dirumah
dan guru disekolah merupakan kebutuhan mereka yang paling utama. Di rumah
anak sangat merindukan sebuah kehidupan yang penuh kasih ( to live is to love), dan di sekolah mereka mengharapkan sentuhan
cinta dari guru yang mengajar ( to teach
is to touch) . Saya bermimpi bagaimana bila anak di rumah dan siswa di
sekolah mendapat sentuhan cinta kasih, saya yakin anak dan siswa akan melalui
kehidupannya dengan sepenuh hatinya. Yah … anak akan semangat belajar, mereka
akan bermain dengan gembira serta
berteman dengan siapapun tanda membeda-bedakan,
cepat tersentuh terhadap penderitaan sesamanya dan mudah memberikan pertolongan
bagi yang membutuhkannya.
Tapi saya yakin hal itu tidak mudah,
mendidik dengan hati. Kadang beban hidup orang tua dan guru membuat mereka ‘lupa’
tersenyum, ‘lupa’ menyapa, ‘lupa’ memberikan waktu bersamanya serta lupa memberi
perhatian. Mari, beban yang memang menjadi tanggung jawab orang tua dan guru, bukan menjadi penghalang kita untuk menjadi ‘lupa’
memberikan hati bagi anak-anak. Kita pasti akan bangga melihat anak-anak kita
mampu menghadapi tantangan hidup ini, yang memang semakin berat.
Mari buat anak kita
selalu tersenyum dan semanagat, dengan perhatian kita.
(bewe280713)
Sumber bacaan :
A. Mintara Sufiyanta, SJ, 2013, "The Art of Educating" cinta dirumah, kasih di skolah,Yogyakarta, Kanisius.
( pernah dipublikasikan di www.kompasiana.com/florentbudi oleh penulis yang sama)