Cerpen Terbaik Kompas 2012
Laki-laki
Pemanggul Goni
Oase.Kompas, Senin, 27 Februari 2012 |
gambar : Kompas.com
Oleh :Budi Darma
Setiap kali akan sembahyang, sebelum
sempat menggelar sajadah untuk sembahyang, Karmain selalu ditarik oleh kekuatan
luar biasa besar untuk mendekati jendela, membuka sedikit kordennya, dan
mengintip ke bawah, ke jalan besar, dari apartemennya di lantai sembilan, untuk
menyaksikan laki-laki pemanggul goni menembakkan matanya ke arah matanya.
Tidak tergantung apakah fajar, tengah
hari, sore, senja, malam, ataupun selepas tengah malam, mata laki-laki
pemanggul goni selalu menyala-nyala bagaikan mata kucing di malam hari, dan
selalu memancarkan hasrat besar untuk menghancurkan.
Tubuh laki-laki pemanggul goni tidak
besar, tidak juga kecil, dan tidak tinggi namun juga tidak pendek, sementara
goni yang dipanggulnya selamanya tampak berat, entah apa isinya. Pada waktu
sepi, laki-laki pemanggul goni pasti berdiri di tengah jalan, dan pada waktu
jalan ramai, pasti laki-laki pemanggul goni berdiri di trotoir, tidak jauh dari
semak-semak, yang kalau sepi dan angin sedang kencang selalu mengeluarkan
bunyi-bunyian yang sangat menyayat hati.
Beberapa kali terjadi, ketika jalan
sedang ramai dan laki-laki pemanggul goni menembakkan mata kepadanya, Karmain
dengan tergesa-gesa turun, lalu mendekati semak-semak dekat trotoir, tetapi
laki-laki pemanggul goni pasti sudah tidak ada lagi. Dan ketika Karmain
bertanya kepada beberapa orang apakah mereka tadi melihat ada seorang laki-laki
pemanggul goni, mereka menggeleng.
Apabila hari masih terang, beberapa
kali laki-laki pemanggul goni membaur dengan orang-orang yang sedang menunggu bus,
sambil menembakkan matanya ke arah Karmain. Tapi, ketika Karmain tiba di tempat
orang-orang yang menunggu bus, laki-laki pemanggul goni sudah tidak ada, dan
orang-orang pasti menggelengkan kepala apabila mereka ditanya apakah tadi
mereka menyaksikan ada laki-laki pemanggul goni.
Pada suatu hari, ketika hari sudah
melewati tengah malam dan Karmain sudah bangun lalu membersihkan tubuh untuk
sembahyang, korden jendela seolah-olah terkena angin dan menyingkap dengan
sendirinya. Maka Karmain pun bergegas mendekati jendela, dan menyaksikan di
bawah sana, di tengah-tengah jalan besar, laki-laki pemanggul goni berdiri
membungkuk mungkin karena goninya terlalu berat, sambil menembakkan matanya ke
arah dirinya. Kendati lampu jalan tidak begitu terang, tampak dengan jelas
wajah laki-laki pemanggul goni menyiratkan rasa amarah, dan menantang Karmain
untuk turun ke bawah.
Karena sudah terbiasa menyaksikan
laki-laki pemanggul goni bertingkah, dengan lembut Karmain berkata: ”Wahai,
laki-laki pemanggul goni, mengapakah kau tidak naik saja, dan ikut
bersembahyang bersama saya.” Kendati jarak antara jendela di lantai sembilan
dan jalan besar di bawah sana cukup jauh, tampak laki-laki pemanggul goni
mendengar ajakan lembut Karmain. Wajah laki-laki pemanggul goni tampak berkerut-kerut
marah, dan matanya makin tajam, makin menyala, dan makin mengancam.
”Baiklah, laki-laki pemanggul goni,
kalau kau tak sudi naik dan sembahyang bersama saya, tunggulah saya di bawah.
Saya akan sembahyang dulu. Sejak saya masih kecil sampai dengan saatnya ibu
saya akan meninggal, ibu saya selalu mengingatkan saya untuk sembahyang dengan
teratur lima kali sehari. Fajar sembahyang satu kali. Itulah sembahyang subuh.
Tengah hari sembahyang satu kali. Itulah sembahyang lohor. Sore satu kali,
itulah sembahyang ashar. Senja satu kali. Itulah sembahyang maghrib. Malam satu
kali. Itulah sembahyang isya. Lima kali sehari. Dan kalau perlu, enam kali
sehari, tambahan sekali setelah saya bangun lewat tengah malam dan akan tidur
lagi. Itulah sembahyang tahajud. Dan kamu selalu mengawasi saya, seolah-olah
kamu tidak tahu apa yang patut aku lakukan dan apa yang tidak patut aku
lakukan.”
Dengan tenang Karmain menutup korden,
namun karena sekonyong-konyong angin bertiup keras, korden menyingkap kembali.
Laki-laki pemanggul goni tetap berdiri di tengah jalan, tetap menampakkan wajah
penuh kerut menandakan kemarahan besar, dan tetap menembakkan matanya dengan
nyala mengancam. Di sebelah sana, dekat trotoir di sebelah sana, semak-semak
bergoyang-goyang keras tertimpa angin, dan mengirimkan bunyi-bunyi yang
benar-benar menyayat hati.
Karmain melayangkan pandangannya ke
depan, ke gugusan apartemen-apartemen besar, dan tampaklah semua lampu di
apartemen sudah padam, sejak beberapa jam yang lalu. Lampu yang masih menyala
hanyalah lampu-lampu di gang-gang yang menghubungkan apartemen-apartemen itu,
sementara lampu merah di tiang tinggi di sebelah sana itu, berkedip-kedip
seperti biasa, seperti biasa menjelang hari menjadi gelap, atau mendung, atau
hujan lebat.
Seperti biasa pula, lampu di tempat
pemberhentian bus menyala, sebetulnya terang, tetapi tampak redup. Selebihnya
sepi, kecuali angin yang tetap menderu-deru. Karmain pindah ke kamar lain, yang
korden jendelanya ternyata juga terbuka, kemudian melihat jauh ke sana. Di sana
itu, ada laut, dan meskipun gelap, terasa benar bahwa laut benar-benar sedang
gelisah.
Sembahyang selesailah, lalu Karmain
mendekati jendela, dan laki-laki pemanggul goni masih di sana, masih
menunjukkan wajah marah, masih menembakkan pandangan mengancam. Maka Karmain
turunlah. Dan ketika Karmain tiba di tepi jalan, laki-laki pemanggul goni tidak
ada. Angin masih bertiup keras. Seekor anjing hitam, besar dan tinggi tubuhnya,
mengawasi Karmain sekejap, kemudian menyeberang jalan, dan di tengah jalan
berhenti lagi sebentar, mengawasi Karmain lagi, lalu lari ke arah kegelapan.
Lalu terdengar lolongan-lolongan anjing, lolongan kesakitan, lolongan pada
saat-saat meregang nyawa.
Dulu, ketika masih kecil, Karmain
bersahabat karib dengan Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani, semuanya dari kampung
Burikan. Dan di kampung Burikan tidak ada satu orang pun yang memelihara
anjing, dan anjing dari kampung-kampung lain pun tidak pernah berkeliaran di
kampung Burikan. Terceritalah, ketika mereka sedang berjalan-jalan di kampung Barongan,
mereka tertarik untuk mencuri buah mangga di pekarangan rumah seseorang yang
terkenal karena anjingnya sangat galak. Belum sempat mereka memanjat pohon
mangga, dengan sangat mendadak ada seekor anjing hitam, tinggi dan besar
tubuhnya, menyalak-nyalak ganas, kemudian mengejar mereka.
Sebulan kemudian, anjing hitam
bertubuh tinggi dan besar mati, setelah terperangkap oleh racun hasil ramuan
Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani.
Karmain menunggu beberapa saat, sambil
berkata lembut dan perlahan-lahan: ”Wahai, laki-laki pemanggul goni, di manakah
kau sekarang. Marilah kita bertemu, dan berbicara.”
Karena tidak ada kejadian apa-apa
lagi, Karmain berjalan menuju semak-semak, dan, meskipun tiupan angin sudah
meredup, semak-semak masih bergerak-gerak, menciptakan bunyi-bunyi yang
menyayat hati.
Karmain kembali ke lantai sembilan,
masuk ke dalam apartemen, kemudian mencari berkas-berkas lama yang sudah lama
tidak ditengoknya. Setelah membuka-buka sana dan sini, Karmain menemukan album
lama. Ada foto ibunya ketika masih muda, seorang janda yang ditinggal oleh
suaminya karena pada hari raya Idul Adha, suaminya tertembak ketika sedang
berburu babi hutan bersama teman-temannya di hutan Medaeng. Ada lima pemburu,
termasuk dia, ayah Karmain. Mereka berlima masuk hutan bersama-sama, kemudian
melihat seekor babi hutan berlari kencang, menabrak beberapa semak-semak. Untuk
mengejar babi hutan itu, mereka berpisah, masing-masing lari ke berbagai arah.
Siapa di antara empat temannya yang dengan tidak sengaja menembak ayah Karmain,
atau justru dengan sengaja menembaknya, tidak ada yang tahu.
Karmain terpaku pada foto ibunya
sampai lama, kemudian, tanpa sadar, dia terisak-isak. Dulu ibunya pernah
bercerita, bahwa pada waktu-waktu tertentu akan ada laki-laki pemanggul goni,
mengunjungi orang-orang berdosa. Pekerjaan laki-laki pemanggul goni adalah
mencabut nyawa, kemudian memasukkan nyawa korbannya ke dalam goni. Ibunya juga
bercerita, beberapa hari sebelum suaminya tertembak, pada tengah malam
laki-laki pemanggul goni datang, mengetuk-ngetuk pintu, kemudian pergi tanpa
meninggalkan jejak.
”Pada hari Idul Adha,” kata ibu
Karmain dahulu, sebelum ayahnya pergi berburu. ”Tuhan menguji kesetiaan Nabi
Ibrahim. Anaknya, Ismail, harus disembelih oleh ayahnya, oleh Nabi Ibrahim
sendiri.”
Karmain tertidur, dan ketika
terbangun, waktu sembahyang fajar sudah tiba. Dan setelah Karmain membersihkan
tubuh, siap untuk sembahyang, korden jendela menyingkap lagi. Laki-laki
pemanggul goni berdiri di tengah jalan lagi, wajahnya menunjukkan kemarahan
lagi, dan matanya menyala-nyala, menantang lagi.
”Baiklah, laki-laki pemanggul goni,
harap kamu jangan lari lagi.”
Dengan sangat tergesa-gesa Karmain
turun, langsung ke pinggir jalan, dan laki-laki pemanggul goni sudah tidak ada.
Ketika Karmain tiba kembali di apartemennya,
ternyata laki-laki pemanggul goni sudah ada di dalam, duduk di atas sajadah,
melantunkan ayat-ayat suci, sementara goninya terletak di sampingnya.
Setelah selesai berdoa, tanpa
memandang Karmain, laki-laki pemanggul goni berkata lembut: ”Karmain, kamu
sekarang sudah menjadi orang penting. Kamu sudah menjelajahi dunia, dan
akhirnya kamu di sini, di negara yang terkenal makmur. Bahwa kamu tidak mau
kembali ke tanah airmu, bukan masalah penting. Tapi mengapa kamu tidak pernah
lagi berpikir tentang makam ayahmu? Tidak pernah berpikir lagi tentang makam
ibumu. Makam orangtuamu sudah lama rusak, tidak terawat, tanahnya tenggelam
tergerus oleh banjir setiap kali hujan datang, dan kamu tidak pernah peduli.”
Laki-laki pemanggul goni berhenti
sebentar, kemudian bertanya:
”Apakah kamu beserta
sahabat-sahabatmu, Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani, pernah tersesat di hutan
Gunung Muria?”
”Ya.”
”Tahukah kamu ke mana
sahabat-sahabatmu itu pergi?”
”Tidak.”
”Mereka saya ambil. Saya tahu, kalau
mereka tidak saya ambil, pada suatu saat kelak dunia akan gaduh. Gaduh karena,
kalau tetap hidup, mereka akan mengacau, membunuh, dan menyebarkan nafsu besar
untuk berbuat dosa. Saya tidak mengambil kamu karena kasihan. Kamu habis
kehilangan ayah. Ayah bejat. Pada saat seharusnya dia di masjid, bersembahyang,
dan kemudian membantu orang-orang menyembelih kambing, ayahmu berkeliaran di
hutan. Bukan untuk menyembelih kambing, tapi mengejar-ngejar babi hutan untuk
dibunuh. Ingatlah, pada hari Idul Adha, ketika Nabi Ibrahim sedang menyembelih
anaknya sendiri, Ismail, datang keajaiban. Bukan Ismail yang disembelih, tapi
kambing.”
Berhenti sebentar, kemudian laki-laki
pemanggul goni bertanya dengan nada menuduh:
”Apakah benar, ketika kamu masih
remaja, kamu menjadi penabuh beduk masjid kampung Burikan? Setiap saat
sembahyang tiba, lima kali sehari, kamu menabuh beduk mengingatkan semua orang
untuk sembahyang?”
Karmain ingat, ketika masih umurnya
memasuki masa remaja, dia bercita-cita, kelak kalau sudah dewasa, dia akan
memiliki gedung bioskop. Maka, dengan caranya sendiri, dia menciptakan
bioskop-bioskopan.
Kertas tipis dia gunting, dia bentuk menjadi orang-orangan.
Lalu dengan tekun dia membuat roda kecil dari kayu. Orang-orangan dari kertas
tipis dia ikat pada benang, benang ditempelkan pada roda kayu. Lalu dia
memasang kertas minyak, menutup semua jendela supaya gelap, menyalakan lilin,
menggerak-gerakkan orang-orangan. Dari balik kertas minyak terpantulah bayangan
orang-orangan. Mereka bisa berlari-lari, berkejar-kejaran, dan saling membunuh,
seperti yang terjadi pada tontonan wayang kulit.
Demikianlah, pada suatu hari, ketika
sedang asyik-asyiknya bermain bioskop-bioskopan, tiba-tiba Karmain ingat, waktu
untuk menabuh beduk sudah tiba. Maka berlarilah dia ke masjid, meninggalkan
kertas-kertas tipis berserakan di lantai. Seorang anak kampung Burikan pula,
Amin namanya, telah datang terlebih dahulu, dan telah menabuh beduk. Setelah
selesai sembahyang, Karmain dan beberapa orang pulang. Dalam perjalanan pulang
itulah, mereka melihat asap hitam pekat membubung ke langit. Udara pun menjadi
luar biasa panas.
Hampir seperempat rumah di kampung
Burikan terbakar, dan dua laki-laki lumpuh meninggal, terjebak oleh
kobaran-kobaran api.
”Karmain,” kata laki-laki pemanggul
goni sambil menunduk, ”Janganlah kamu pura-pura tidak tahu, kamu lari ke
masjid, sementara lilin masih menyala.”
Sunyi senyap, dan laki-laki pemanggul
goni tetap tertunduk.
”Wahai, laki-laki pemanggul goni,”
kata Karmain setelah terdiam agak lama. ”Ibu saya dulu pernah berkata, ada
laki-laki pemanggul goni yang sebenarnya, ada pula pemanggul goni yang
sebetulnya setan, dan menyamar sebagai laki-laki pemanggul goni.”
Laki-laki pemanggul goni tersengat,
kemudian memandang tajam ke arah Karmain. Wajahnya penuh kerut-kerut menandakan
rasa amarah yang sangat besar, dan matanya benar-benar merah, benar-benar
ganas, dan benar-benar menantang.
Setelah membisikkan doa singkat,
Karmain berkata lagi: ”Bagaimana kamu bisa tahu, wahai laki-laki pemanggul
goni, bahwa kelak Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani akan menyebarkan dosa yang
membuat orang-orang tersesat?”
Laki-laki pemanggul goni, dengan
kerut-kerut wajahnya dan nyala matanya, dengan nada ganas berkata:
”Hanya
sayalah yang tahu apa yang akan terjadi seandainya mereka saya biarkan hidup.”
”Wahai, laki-laki pemanggul goni,
hanya Nabi Kidirlah yang tahu apakah seorang anak kelak akan menciptakan
dosa-dosa besar atau tidak. Apakah kamu tidak ingat, Nabi Kidir menenggelamkan
perahu seorang anak muda yang tampan? Nabi Kidir tahu, kelak anak tampan ini
akan menjadi pengacau dunia. Dan Nabi Kidir pun mempunyai hak untuk
menghancurleburkan sebuah rumah mewah. Sebuah rumah mewah yang dihuni oleh
seorang bayi yang kelak akan membahayakan dunia.”
Dan Karmain ingat benar, dulu,
menjelang kebakaran hebat melanda kampung Burikan, kata beberapa orang saksi,
laki-laki pemanggul goni datang. Lalu, kata beberapa saksi pula, laki-laki
pemanggul goni masuk ke rumah Karmain, kemudian bergegas-gegas ke luar, dan melemparkan
bola-bola api ke rumah Karmain. Dan setelah api berkobar-kobar ganas menjilati
sebagian rumah di kampung Burikan, beberapa orang dari kampung Burikan dan
kampung Barongan sempat melihat, laki-laki pemanggul goni melarikan diri di
antara lidah-lidah api yang makin membesar.
Editor :
Jodhi Yudono
‘ “Laki-laki pembanggul goni” memperlihatkan
betapa penting unsur-unsur intrinsic tampil kompak, berjalin-berkelindan dalam
membangun cerita. Crpen itu memperlihatkan dirinya sebagai cerpen yang kaya
tafsir dan makna’
Secara sosiologis, cerpin ini pada dasarnya
dapat ditempatkan sebagai potret masa kecil anak-anak Indoensia yang hampir
selalu dijejali mitos dan tokoh-tokoh fiktif yang kerap dicitrakan sebagai
makhluk menakutkan.
Cerpen ini dapat menggambarkan satu
kaki menginjak dunia modern dan satu kaki lagi berada di masa lalu, yakni tradisi dan mitos-mitos.
( Maman S Mahayana,
Pengajar sastra Universitas Indonesia Kompas, Jumat, 28 Juni 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar