Guru Generasi Baru
Kompas cetak, Selasa 2 Juli 2013
Oleh:
Mohammad Abduhzen
“guru profesional
memberikan ruang dialogis
seraya menanggalkan egosentrismenya
sebagai
orang dewasa yang serba tahu dan banyak menyuruh.
“
( Mohammad Abduhzen )
Dengan terbitnya UU Guru dan Dosen pada tahun 2005,
seharusnya kini di Indonesia lahir guru generasi baru, yaitu guru profesional
yang memiliki kinerja berbeda dengan guru (sebut saja) tradisional.
Perbedaan itu,
Pertama, yakni pada
posisi guru.
·
Seturut
perkembangan terminologi pendidikan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 1 Ayat (1), guru diposisikan sebagai
fasilitator yang mengondisikan suasana dan proses pembelajaran. Pembelajaran
diselenggarakan berpusat pada murid dan diupayakan agar murid aktif
mengembangkan potensi dirinya.
·
Guru tradisional—menurut UU Sisdiknas No
2 Tahun 1989—diposisikan sebagai pembimbing, pengajar, dan pelatih yang
menyiapkan peserta didik bagi peranannya di masa depan. Pembelajaran berpusat
dan bergantung pada keaktifan guru.
Kedua, perbedaan pada kompetensi.
·
Perubahan posisi guru menuntut kemampuan
yang bukan sekadar memodifikasi teknik mengajar, juga perubahan filosofi dan
didaktik-metodik yang terekspresi dalam kompetensi. UU No 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen (UUGD)—meski rancu—membuat empat kategori kompetensi guru
profesional, yakni pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
·
Guru
yang otentik
Kompetensi guru profesional
didasarkan pada filosofi bahwa anak adalah makhluk sarat potensi yang berkembang secara
dinamis menurut kondisi yang melingkupinya.
·
Maka, dalam pembelajarannya,
Ø guru profesional memberikan ruang
dialogis seraya menanggalkan egosentrismenya sebagai orang dewasa yang serba
tahu dan banyak menyuruh.
Ø Meskipun
memiliki kedekatan dan keterbukaan dengan murid, guru profesional tetap
otentik, tak berpura-pura.
Ø Ia
juga tak infantil sehingga sering jadi bulan-bulanan murid.
Ø Wibawa
guru profesional tumbuh dari simpati karena kompetensinya, bukan dari rasa
segan apalagi takut.
Ø Sementara
kompetensi guru tradisional
dilandasi epistemologi tabula rasa (kertas kosong) bahwa seorang manusia lahir
tanpa isi mental bawaan. Pendidikan adalah upaya mengisi ruang kosong itu
dengan seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang menurut persepsi orang
dewasa bakal berguna bagi anak di masa depan.
Ketiga, perbedaan pada perilaku etik dan politik.
·
Dengan profesionalisme, menurut Tilaar
(2012), status guru mengalami demitologisasi. Mitos guru sebagai manusia
sempurna, pekerja sosial yang tak harap imbalan, dan tabu berpolitik mengalami
rasionalisasi. Perilaku moral guru profesional dibatasi oleh etika profesi yang
diawasi dewan kehormatan guru.
·
Guru profesional juga dapat, bahkan
harus, melibatkan diri dalam berbagai kegiatan politik. Menjadi guru di abad
ke-21, menurut Oakes & Lipton (2003: 430), selain alasan
tradisional—seperti hasrat menolong— juga (perlu) dimovitasi untuk keadilan
sosial karena itu bersifat politis.
·
Politik guru adalah bagian dari politik
pendidikan yang menyoalkan penggunaan kekuasaan negara dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa. Posisi penting dan pengalaman operasional yang dimiliki
menjadikan guru tak selayaknya hanya menjadi obyek yang tak disertakan dalam
membuat kebijakan terkait dengan diri dan bidangnya. Maka, guru memerlukan
instrumen politik: organisasi profesi.
Keempat, keterikatan pada organisasi profesi.
·
Organisasi profesi guru utamanya adalah
media untuk memajukan profesi dan memperbaiki nasib guru. Problem keguruan
senantiasa lahir dari rahim politik pendidikan pemerintah sehingga tak mungkin
diselesaikan guru secara individual. Ujian nasional, Kurikulum 2013, dan
sertifikasi adalah contoh kebijakan yang memengaruhi kinerja dan mesti dihadapi
guru secara bersama.
Dengan jumlah anggota yang besar dan peran yang
strategis, organisasi profesi guru harus percaya diri dan menyadari posisi
politiknya yang independen. Ia tidak boleh hanya menjadi batu loncatan pengurus
dengan memasrahkan monoloyalitas kepada kekuatan tertentu dan atau sekadar
perpanjangan tangan pemerintah. Karena itu, organisasi guru harus memiliki
tawaran konsep rasional dan komprehensif tentang keguruan, pendidikan, dan
kebangsaan.
Jiwa
professional
Panggilan untuk bersikap profesional sejatinya bukan sekadar berkutat pada kegiatan birokratis, melainkan juga harus diproses agar mengikat guru secara esoteris, menukik di kedalaman jiwa. Namun, itu tak terjadi dalam praktik selama ini.
Masa delapan tahun telah dihabiskan hanya dalam
kegaduhan administratif portofolio dan uji-menguji. Sertifikasi portofolio—seperti diduga sebelumnya—ternyata (versi Bank
Dunia) hanya berhasil meningkatkan ekonomi guru dan minat jadi guru, tetapi gagal mencapai tujuan utama
profesionalisme, yakni meningkatkan kinerja guru untuk peningkatan mutu
pendidikan nasional.
Kini, guru kita terkungkung dalam makna
profesionalisme yang materialistik: tunjangan profesi. Semangat penyempurnaan
diri berkelanjutan nyaris tak ada. Kegiatan Pendidikan dan Latihan Profesi
Guru, Rancangan Pendidikan Profesi Guru, serta Rencana Kebijakan Pembinaan dan
Pengembangan Guru mendatang perlu diarahkan pada membangun jiwa keguruan.
Redesain
LPTK
Segala upaya profesionalisme guru meniscayakan perubahan peran dan substansi institusi yang menyiapkan guru, yaitu lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Perubahan substansi LPTK mutlak dilakukan karena ada paradigma, pendekatan, dan metode baru yang harus dikembangkan melalui pendidikan/pelatihan calon guru dan guru dalam jabatan. Desain kurikulum, proses pembelajaran, dan pelatihan/pemagangan di LPTK harus mencerminkan berbagai perubahan yang dikehendaki. Selama LPTK secara substansial tak diubah, gagasan "guru profesional" hanya terjadi dan berhenti dalam administrasi dan remunerasi.
Hingga delapan tahun pasca-UUGD, peran dan substansi
LPTK tak mengalami perubahan signifikan. Konsep redesain yang disusun beberapa
LPTK tampak beragam dan terlampau akomodatif, tak menunjukkan perubahan
radikal. Padahal, ide profesionalisme dan UUGD menuntut LPTK melakukan
reformasi mendasar.
Logika UU sesungguhnya menghendaki LPTK secara
kelembagaan fokus pada penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kompetensi dan
sertifikasi, tak lagi memproduk sarjana keguruan dalam berbagai bidang
keilmuan. Hal itu mengingat seseorang dapat menjadi guru tanpa harus sarjana
keguruan atau pendidikan. Implementasinya tentu berangkat dari realitas dan
mempertimbangkan berbagai fakta, seperti keberadaan universitas eks IKIP dan
adanya sistem guru kelas di SD.
Guru generasi baru tumpuan harapan perbaikan
kualitas bangsa. Pemerintah, LPTK, dan organisasi profesi guru harus bersinergi
melakukan perubahan penting itu. Isu tersebut menjadi bahasan utama Kongres
PGRI, 1-4 Juli 2013, di Jakarta.
Mohammad Abduhzen Ketua Litbang PB PGRI dan
Sekretaris Institute for Education Reform Universitas Paramadina Jakarta
(Kompas cetak, 2 Juli 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar