Menjadi guru sejarah
gambar : dok pribadi
“
Sadarlah bahwa engkau mengajar jauh lebih banyak daripada satu mata pelajaran.
Engkau
sedang membuka pikiran dan hati;
Engkau
sedang membentuk kehidupan.”
(Karen
katafiasz )
Tahun
pembelajaran baru sudah tiba, banyak orang tua membelikan putra – putrinya buku
baru, sepatu baru, tas baru, dan seragam
baru. Bagi siswa yang lulus tahun pelajaran kemarin, akan menghadapi sekolah
baru dan suasana baru pada jenjang yang lebih tinggi. Bagi orang tua yang akan
mulai menyekolahkan buah hatinya pada lembaga pendidikan, banyak hal mesti dipersiapan,
dari memilih sekolah sampai pada merayu
untuk buah hatinya untuk mau sekolah.
Semua terasa sibuk pada bulan Juli ini, bahkan beberapa orang tua telah
menyiapkan cuti pada hari pertama masuk sekolah demi mendampingi putra-putrinya
untuk pertama kali sekolah.
Lalu
bagaimana persiapan guru menghadapi tahun pembelajaran baru? Apakah biasa-biasa
saja karena tiap tahun hal ini terulang? Ataukah ada persiapan persiapan
tertentu yang berbeda dari tahun sebelumnya? Beberapa guru lain , memang telah mulai dengan persiapan
perangkat pembelajaran sesuai yang ampunya. Sedang di tempat lain, guru penjas
mengeluarkan matras. Guru tersebut mempersiapkan peralatan pembelajaran, dengan
mengecek peralatan olah raga hingga kebersihan peralatan yang ada, sehingga
siap pada waktu digunakan nanti. Sinar pagi terasa cukup panas, sinar matahari
yang tersebut tidak disia-siakan guru olah raga untuk menjemur matras. “
Pak matrasnya digeser ke tempat duduk
besi “ ajak seorang teman kepada guru
olah raga, karena memang panas matahari mulai bergeser. Demikian kesibukan terasa dengan memindahkan dan membalikan
matras karena memafaatkan panas matahari
yang maksimal. Sebelum matras digeser terlihat terlebih dahulu di
bersihkan lagi dengan lap basah baru dijemur kembali.
Mulai berubah
Setelah
melayani pengambilan rapor, ijasah, SKHU serta dokumen lain, saya masuk ruang
perpustakaan. Saya mulai baca beberapa
buku yang ada diperpustakaan. Saya
tertarik dengan sebuah bacaan dari majalah Intisari
Juli 2013, tertulis …”Apa yang
dibutuhkan anak di abad 21? Konsep,
bukan sekedar fakta. Selama ini kita selalu membeir anak didik dengan serangkaian
fakta. Misal, Perang Diponegoro tahun 1925-1930. Seharusnya, kita belajar konsep apa
yang dipegang Pangeran Diponegoro dalam berjuang. Pengetahuan konseptual
semacam ini hilang karena kita terlalu terpaku pada fakta.” Kata Antarina
SF Amir. Ya, bayangan saya lari jauh kebelakang saat saya menerima informasi
tersebut. Hati saya mulai merasakan kegemasan yang dirasakan penulis tersebut, apalagi tahun pembajaran
baru ini saya mendapat tugas sebagai guru IPS sejarah. Ini
kali pertama saya mendapat tugas tersebut.
Dari bacaan diatas saya mencoba mencari tahu yang dinamakan pembelajaran
konseptual dan juga referensi-referensi
lain. Bagaimana pembelajaran IPS
khususnya sejarah yang menyenangkan dalam kontek kekinian. Ini tantangan yang
harus dihadapi sehingga di depan siswa mampu memberikan rasa dahaga akan pengetahuan
sekaligus mampu memberikan ruang
kebebasan anak untuk membentuk pengetahuan sendiri. Bukan sekedar
hafalan!
Dalam
belajar sejarah, pengalaman saya adalah
bagaimana siswa hafal peristiwa-peristiwa penting nasional maupun
internasional, hafal tokoh-tokoh penting dalam tiap peristiwa maupun tempat dan
tanggal peristiwa penting tersebut
terjadi. Siswa kurang diberi ruang mengolah sendiri tiap peristiwa dengan
kemampuan bernalarnya. Dengan diberi ‘ruang’, siswa berkesempatan untuk
mengolah, bagaimana suatu peristiwa
sejarah dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman
dunia nyata saat ini. Dengan begitu diharapkan siswa menemukan sendiri
konsep-konsep, yang dapat ditawarkan dalam mengatasi berbagai masalah yang
dihadapinya maupun permasalahan disekitarnya. Sekaligus proses ini akan menantang serta menggairahkan siswa dalam
belajar sejarah. Tugas guru hanya memfasilitasi dengan memberikan pengalaman sebanyak-banyaknya
yang berkaitan dengan dunia nyata. Guru memberikan pengetahuan tentang
buku-buku yang harus dan dapat dibaca sebagai referensinya, serta bagaimana
cara membacanya.
Terus belajar
Tantangan
baru dalam belajar sejarah, yang bukan hanya mengenal peristiwannya, namun anak
mampu mengaitkannya dengan pengalaman dunia nyata sebanyak-banyaknya. Menjadikan
siswa mulai tidak pernah berhenti untuk belajar, karena dia akan terus berpikir
dengan mengaitkan pada kondisi nyata, romo Mangun menyebutnya “ ‘belajar sejati’.
Karena anak akan selalu belajar meski sekolah sudah usai. Menurut romo mangun
belajar sejati adalah tahap dimana seseorang punya kesadaran diri untuk
memperhatikan, mempelajari, dan menekuni segala hal yang dialaminya sehari-hari
secara terus menerus.” Semakin banyak pengalaman hidup yang ‘diolah’ dalam kaitkan dengan peristiwa-peritiwa
sejarah ,diharapkan makin banyak pula
konsep-konsep baru yang didapatnya untuk mengarungi kehidupannya.
Belajar
sejarah dapat membantu siswa menemukan
‘alat’ yang dapat menjadikan dirinya
lebih mandiri mengatasi setiap permasalahan hidupnya. Siswa juga perlu memiliki
ketrampilan hidup sehingga mampu
berinteraksi dengan lingkungannya sehingga mendapatkan pengalaman hidup.
Semoga
pengetahuan ini mampu menjadi kekuatan saya mendampingi siswa. Saya akan ajak siswa
mulai berani berkomunikasi dengan
lingkungan dan mempunyai jiwa eksploratif, kreatif dan integral ( romo mangun,
2007). Karena inilah langkah awal yang harus dimiliki untuk melangkah menjadi
manusia pembelajar. Dari sisi guru juga harus melengkapi diri dengan
pengetahuan dan sikap nyata serta menguasai beberapa pendekatan yang menunjang, active
learning, joyful learning, dan child-centered learning. Memang benar guru dan murid terus belajar.
Ya sekarang aku menjadi guru sejarah.
(bewe 11713)
(bewe 11713)
Sumber
bacaan :
1. Antarina
SF Amir, Mengubah paradigma sistem
pendidikan, Intisari, juli 2013, Jakarta
2. Y
Dedy Pradipta, Belajar sejati VS kurikulum nasional, Kanisius 2007,
Yogyakarta
3. Karen
katafiasz, “ Teacher Therapy” (Terapi
Menjadi Guru yang Baik)”, 2004, penerbit OBOR, Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar