Taspirin,….
Bocah sekecil itu menanggung beban
keluarga
Sumber
: Kompas Cetak, 15 April 2013
Oleh
:Gregorius Magnus Finesso
gambar : kompas.com
Tasripin (dua dari
kanan) bersama ketiga adiknya di rumahnya di Dusun Pesawahan, Desa Gunung
Lurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (13/4). Tasripin
terpaksa menanggung beban sebagai kepala keluarga setelah ditinggal kedua
orangtuanya. Mereka sebatang kara setelah sang ibu meninggal, sedangkan ayah
mereka bekerja di Kalimantan. Tasripin memilih berhenti sekolah dan menjadi
buruh tani demi mendapat upah untuk makan nasi kerupuk atau garam bagi ketiga
adiknya.
Ketika
jutaan anak-anak seusianya bersekolah, bermain, dan disayang orangtua, Tasripin
(12) terpaksa menjadi buruh tani untuk menghidupi ketiga adiknya. Peran kepala
rumah tangga kini disandangnya.
Tasripin mengambil alih tanggung jawab itu setelah
ditinggal kedua orangtuanya. Kemiskinan kian menyudutkannya. Bocah itu tak lagi
menikmati waktu, dan menguapkan cita-citanya
menjadi guru.
Keseharian
Tasripin, warga Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok,
Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, sudah dimulai saat azan subuh baru saja
berkumandang. Ia memulai hari dengan menanak nasi di dapur yang gelap
dan lembab. Ketiga
adiknya dibangunkan, lalu satu per satu dimandikan.
”Yang
paling kecil yang rewel. Nangis terus. Sering tak mau dimandikan jika sedang
ingat bapak. Jika ada uang, saya kasih, baru diam,” tutur Tasripin, Sabtu
(13/4), di rumahnya, yang jauh dari standar kelayakan di kaki Gunung Slamet.
Beda
dengan rumah sebelahnya yang berlantai keramik dan bertembok, rumah yang
ditempati Tasripin dan adik-adiknya terbuat dari papan berukuran sekitar 5
meter x 6 meter. Hanya dua kursi panjang dan satu meja kayu yang menjadi
perabot di ruang yang lantainya beralaskan semen pecah-pecah itu. Meski hari
sudah mulai siang, ruangan itu pengap.
Tasripin
dan ketiga adiknya, Dandi (7), Riyanti (6), dan Daryo (4), tidur di dipan kayu
beralaskan karpet plastik. Saat dingin menyergap, mereka hanya berselimutkan
sarung. Lingkungan yang jelas tidak sehat bagi bocah-bocah itu.
Setelah
memandikan ketiga adiknya di pancuran yang mengalir alami di belakang rumah,
Tasripin menyuapi Daryo, si bungsu. Pagi itu, mereka sarapan mi
instan.
”Ini sedang ada rezeki, Pak. Jika enggak ada uang, ya
nasi putih sama kerupuk, kadang cuma sama garam,” ujar Tasripin. Ia putus
sekolah sejak kelas tiga sekolah dasar (SD) sebab harus mengurus ketiga adiknya
itu.
Satinah, ibu
mereka, meninggal dua tahun lalu, di usia 37 tahun, akibat terkena longsoran
batu saat menambang pasir di dekat rumahnya. Kuswito (42), ayah mereka, sudah
setengah tahun terakhir ini merantau ke Kalimantan bekerja di pabrik kayu
bersama Natim (21), anak sulungnya.
Jadi
buruh tani
Meski yatim dan jauh dari ayahnya, Tasripin berusaha
mandiri. Ia cekatan mengurusi adik-adiknya. Untuk makan sehari-hari, dia
bekerja membantu tetangganya menjadi buruh tani, bekerja di sawah, mengeringkan
gabah, hingga mengangkut hasil panen turun. Ia
tidak mengeluh meski harus naik bukit sejauh 2 kilometer dari sawah ke rumah
juragannya. Tasripin berangkat ke sawah pukul 07.00 dan pulang pukul 12.00.
”Kadang dibayar beras, kadang uang Rp 10.000. Dicukupin buat makan dua kali
sehari. Harus disisain buat jajan adik-adik,” jelasnya.
Sering kali ia terpaksa berutang. Beruntung,
tetangganya memaklumi kondisi mereka. ”Kami paham kondisi mereka. Jika Tasripin
beberapa hari tidak ada pekerjaan, tetangga atau bibinya yang kasih makan,”
ujar Salimudin (59), pemilik warung tempat Tasripin biasa membeli bahan
makanan.
Selain
memasak, Tasripin juga mencuci pakaian, menyapu rumah, hingga terkadang
membetulkan talang air rumahnya yang bocor. Meskipun bekerja, dia selalu
memantau ke mana adik-adiknya bermain. Jika sore menjelang dan adiknya belum
pulang, ia akan mencari mereka hingga ke hutan.
Ayahnya beberapa kali mengirim uang melalui bibi
Tasripin. Uang itu untuk membayar listrik dan kebutuhan mendesak, seperti jika
ada adiknya yang sakit. Akibatnya, sekolah menjadi barang mahal bagi
mereka. Dari keempat anak itu, hanya Daryo yang bersekolah di pendidikan anak
usia dini (PAUD).
Tasripin
sebenarnya masih terlilit biaya sekolah lebih dari Rp 100.000 di SD Negeri
Sambirata 3. Kedua adiknya, Dandi dan Riyanti, tidak melanjutkan sekolah karena
malu sering diejek teman-temannya. Riyanti, adik perempuannya, sakit. Ada luka
di kepalanya.
Meski miskin dan tidak merasakan
pendidikan, Tasripin merasa bertanggung jawab pada akhlak adik-adiknya.
Tiap sore dia mengajari adik-adiknya membaca Al Quran. Dengan sabar, dia juga
mengajak adiknya shalat dan mengaji di mushala depan rumahnya. Saat malam kian
larut, ia mulai menidurkan adiknya. Dinginnya angin gunung yang menelusup
melalui celah papan rumahnya dilawan Tasripin dengan memeluk erat adik-adiknya
yang lelap.
Terpencil dan tertinggal
Potret kehidupan Tasripin tak lepas dari kemiskinan
yang membelenggu keluarganya. Ini diperparah kondisi Dusun Pesawahan yang
terpencil. Saat masih bersekolah, Tasripin harus berjalan kaki sekitar 3
kilometer melintasi jalan berbatu, perbukitan, dan hutan setiap hari.
Kepala Dusun Pesawahan Warsito membenarkan, banyak
anak putus sekolah dan tak menuntaskan pendidikan dasar sembilan tahun di
dusunnya. Selain faktor jarak, kemauan untuk belajar warga dusun itu juga masih
rendah. Bahkan, di dusun itu hanya ada dua lulusan sekolah menengah atas dan
dua lulusan sekolah menengah pertama. ”Ratusan warga masih buta huruf,” kata
Warsito.
Dusun Pesawahan berjarak sekitar 30 kilometer dari
Purwokerto, pusat kota Banyumas. Dusun itu terdiri atas 103 rumah dengan
penduduk berjumlah 319 jiwa.
Bupati Banyumas Achmad Husein mengaku khawatir kisah
Tasripin hanya fenomena gunung es di Banyumas. Aparatur pemerintah harus
peduli.
(bewe 17April 203)