Wacana penyebarluasan konsep empat
pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika, dapat
sambutan.
Tak kurang UU tentang Partai
Politik (UU No 27 Tahun 2008) mengamanatkan agar anggota DPR perlu
memasyarakatkan empat pilar itu. Malah ada perguruan tinggi swasta yang
menganugerahi gelar doktor honoris causa kepada seorang pejabat negara
yang dipandang berjasa memasyarakatkan empat pilar itu.
Setiap orang memahami bahwa pilar
tak sama maknanya dengan dasar. Pilar yang berarti tiang penyangga tentu
berbeda dengan dasar atau fundamen. Dengan demikian, menyamakan Pancasila
sebagai pilar merupakan sesat pikir.
Salah satu bapak bangsa Indonesia,
Soekarno (Bung Karno), dalam pidato pada 1 Juni 1945 di depan Sidang
BPUPKI (kemudian dikenal sebagai Hari Lahir Pancasila) menyatakan, ”Sekarang
banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan,
dan ketuhanan, lima bilangannya.”
”Namanya”, lanjut Bung Karno, ”bukan Panca Dharma, tetapi saya
namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita, ahli bahasa, Pancasila.
Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itu kita
mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.”
gambar : www.uinsgd.ac.id
Dasar
Bukan Pilar
Sebagai asas dan dasar negara, Pancasila
merupakan philosophische grondslag atau
dasar filosofis bagi suatu
negara dan bangsa yang bernama Indonesia. Bila negara Indonesia
diibaratkan sebagai wadah, tegas Bung Karno, ”...Dan wadah ini hanyalah bisa selamat
tidak retak jikalau wadah ini didasarkan di atas dasar yang kunamakan
Pancasila. Dan jikalau ini wadah dibuatnya daripada elemen-elemen yang
tersusun daripada Pancasila” (Pidato 17 Juni 1954).
Bagaimana itu dipahami? Mungkin
penjelasan Prof Driyarkara SJ bisa menolong. Pemahamannya bertolak dari
eksistensi manusia Indonesia.
Dijelaskan, karena manusia itu hidup atau ”berada”, manusia mengakui keberadaannya sebagai keberadaan
yang kontinggen (yang tergantung) kepada keberadaan Yang Mutlak, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa. Karena ”manusia Indonesia” berada bersama ”manusia
Indonesia yang lain”, maka ia harus berperikemanusiaan yang adil,
beradab, dan bersatu untuk tidak terpecah-belah agar mampu membangun
manusia Indonesia sebagai masyarakat yang sejahtera secara sosial.
Bertitik tolak dari dasar itu,
tatanan bernegara—baik dengan UUD, UU, konvensi, maupun budaya—yang
mengejawantahkan dasar atau fundamen kehidupan bagi kelompok yang
menamakan dirinya sebagai bangsa Indonesia dapat hidup. Bagi Bung Karno,
bangsa—dengan menyitir Ernst Renan—adalah kehendak untuk bersatu (le
desir d’etre ensemble) sehingga atas dasar Pancasila dirancanglah konstitusi,
yaitu UUD 1945; bentuk negara
kesatuan dan bukan negara federal (NKRI); dan hasrat bangsa untuk menghargai keberagaman dalam moto ”Bhinneka
Tunggal Ika”. Semua itu menjadi sarana untuk membangun kebersamaan
sebagai warga bangsa untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik, yaitu
suatu masyarakat yang adil dan makmur.
Dengan demikian, pola pikir yang
salah dengan menyamakan Pancasila hanya salah satu pilar harus dibuang
jauh. Pola pikir yang keliru akan menghasilkan tindakan dan praksis hidup
yang keliru pula. Pancasila adalah dasar dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar