Rancangan Kurikulum 2013
mengembalikan Pancasila seperti Kurikulum 1994, yaitu sebagai mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan.
Keberadaan Pancasila dalam
kurikulum senantiasa timbul tenggelam, bergantung pada situasi
kebangsaan.
1. Kurikulum
1968,
Di awal Orde
Baru, Pancasila menjadi kategori pertama bidang pembelajaran ”Pembinaan
Jiwa Pancasila” yang terdiri atas pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan pendidikan
olahraga.
2. Kurikulum
1975—seiring menguatnya dominasi Orde Baru—menjadikan Pancasila sebagai
mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
3. Kurikulum
1984
Kurikulum ini
disempurnakan pada 1984 dengan menambahkan Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa (PSPB), di samping PMP dan Sejarah.
4. Kurikulum
1994.
Tumpang tindih pelajaran
ini kemudian disederhanakan dalam Kurikulum 1994 dengan menyatukan PMP
dan PSPB jadi Pendidikan Pancasila danKewarganegaraan (PPKn).
5. Kurikulum
Berbasis Kompetensi dan Kurikulum Tingkat Satuan Pedniikan
Ketika Reformasi
tiba, Pancasila yang lama menjadi alat legitimasi turut mengalami
deapresiasi sehingga UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional tak mewajibkan Pancasila ada dalam kurikulum pendidikan. Karena
itu, dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK, 2004) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006),
Pancasila raib dan PPKn menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
gambar:menarailmuku.blogspot
Kevakuman
1. Proses
ideologisasi Pancasila semasa Orde Baru dengan tafsir dan asas tunggalnya
telah memaksa mayoritas masyarakat Indonesia berideologikan Pancasila
secara semu. Praktik represif dan doktrinal yang ditempuh justru menimbulkan
sinisme terhadap Pancasila sebagai personifikasi penguasa. Maka, saat
Orba jatuh, Pancasila seperti ikut melindap.
2. Sekarang,
Pancasila mengalami kekosongan makna karena pemaknaan oleh Orde Baru
berupa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) beserta 36 butir
nilai-nilai seolah gosong. Kita perlu rekonstruksi tafsir yang mampu
menerangkan bagaimana berbagai gagasan dalam Pancasila saling berhubungan
dan mampu mengantarkan bangsa ini pada kehidupan lebih baik, seperti
janji kemerdekaan.
3. Pada
hari-hari ini, kita juga tak menyaksikan adanya upaya internalisasi
nilai-nilai Pancasila dan kebangsaan secara mendasar dan sistemis. Memang
ada upaya sosialisasi ”Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara”, tetapi—selain Pancasila sebagai pilar dipersoalkan—hanya
sayup-sayup sampai kepada publik. Barangkali kita tinggal mengandalkan
kecakapan para guru mengajarkan Pancasila di sekolah. Itu pun, sekarang
ini, Pancasila diajarkan sebatas dasar administrasi negara.
4. Menguatnya
semangat aliran belakangan ini di ranah politik dan sosial merupakan
indikator kian lemahnya apresiasi masyarakat terhadap Pancasila sebagai
landasan hidup bersama. Kenyataan ini tak boleh dibiarkan, dan seyogianya
pemerintah serius merevitalisasi Pancasila.
”Mengilmiahkan”
Pancasila
Butir penting untuk reaktualisasi
yakni
merumuskan konstelasi pembelajaran dan transformasi
nilai-nilai Pancasila dalam proses pendidikan.
Sebagai substansi pembelajaran,
Pancasila selama ini dikenalkan lebih sebagai mitos ketimbang sesuatu
yang ilmiah. Keberadaan Pancasila seperti tak melekat dalam kesadaran dan
hanya muncul sebagai perilaku artifisial. Agar mengejawantah sebagai
perilaku otentik, Pancasila harus diakarkan
di dalam pikiran dan ditumbuhkan sebagai sikap di dalam jiwa.
Karena itu, Pancasila perlu ”diilmiahkan”
dengan mengobyektivikasi makna-makna normatif dan simbolisnya secara
logis-empiris. Pembahasan Pancasila harus mampu mengantarkan kita kepada
situasi logika dan fakta yang tak terelakkan sehingga pilihannya harus
diterima.
Pancasila, sebagaimana dinyatakan
penggagasnya,
·
adalah philosofische grondslag
atau weltanschauung,
·
yaitu fundamen, filsafat, dan pikiran yang mendalam.
·
Pancasila lahir sebagai
antitesis imperialisme dengan ide-ide besar seperti ”penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan”, kebinekaan/pluralisme, musyawarah, dan ketuhanan
yang harus dijadikan realiteit.
Merealisasikan Pancasila sebagai
landasan kehidupan bersama, yang dibutuhkan di alam modern ini,
memerlukan argumen yang tak sekadar common sense, akal sehat. Setakat ini
status epistemologis Pancasila baru sebatas deskripsi tentang realitas
dan cita-cita. Ini tergambar dari pidato Soekarno tentang sila Ketuhanan: ”bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya bertuhan.”
Pembahasan Pancasila tidak cukup
dan berhenti sebatas konsep-konsep universal, tetapi harus berlanjut ke
tataran operasional dan kontekstual berdasarkan situasi, kebutuhan, dan
pengalaman kebangsaan kita sendiri. Ibarat pohon, Pancasila tunduk pada
hukum pertumbuhan universal, tetapi sejatinya ia tetumbuhan tropis.
Reinterpretasi untuk reaktualisasi
Pancasila telah dimulai Yudi Latif
dengan karyanya Negara Paripurna,
Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2010). Yudi
mengobyektivikasi Pancasila dengan fakta historis dan pendekatan
teoritis-komparatif, disusul gagasan rasional bagaimana sila demi sila
seharusnya diaktualkan.
Pendidikan, tafsir, dan pemikiran
tentang Pancasila perlu dikemas sedemikian rupa agar menjadi nilai-nilai
kepribadian (kompetensi) lulusan.
Problem
Metodologi
Selain persoalan substansi,
pembelajaran Pancasila di sekolah sering kali terkendala faktor
metodologi. Pada satu sisi disampaikan terlampau akademis—diajarkan hanya
sebagai fakta pengetahuan—dan pada sisi lain terlewat ideologis
(memaksakan nilai-nilai sebagai doktrin).
Pembelajaran harus menjadi upaya
penyadaran pentingnya nilai-nilai Pancasila bagi kehidupan bersama
sebagai bangsa. Metode ini seharusnya dapat diturunkan dari UU No 20
Tahun 2003 Pasal 1 Ayat (1) yang menekankan pentingnya penciptaan suasana
dan proses pembelajaran, keaktifan, dan berpusat pada murid. Sayangnya,
rancangan Kurikulum 2013 tak mengelaborasi metode pembelajaran secara
utuh dan menyeluruh. Elemen perubahan terkait proses pembelajaran hanya
menambahkan kata teknis: ”mengamati, menanya, dan mengolah”. Sementara
pendekatan tematik-integratif dikhususkan untuk SD karena sebelumnya
pelajaran IPA akan diintegrasikan di semua kelas SD.
Pendidikan Pancasila mendatang
potensial mengalami disorientasi karena
ada reduksi dan kesenjangan logika pada kompetensi kurikulum. Kompetensi
inti sebagai sublimasi perolehan dari seluruh mata pelajaran mengerutkan
fungsi pendidikan hanya dalam empat
kategori yang rancu, yakni
sikap keagamaan, sikap sosial, pegetahuan, dan penerapan pengetahuan.
Sebagai tujuan akhir pembelajaran,
kompetensi inti, selain tampak begitu miskin, juga menimbulkan masalah
tautan logis dengan kompetensi dasar dan sesi-sesi pembelajaran, terlebih
untuk Pendidikan Pancasila. Menyaksikan situasi kebangsaan yang kian
mengkhawatirkan akhir-akhir ini, perumusan
Pendidikan Pancasila harus berspektrum luas dan menjadi bagian dari
strategi nation building.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar