Sebagai orang yang pernah studi
khusus tentang kurikulum dan pengajaran, membaca kompetensi inti dan
kompetensi dasar dalam Kurikulum 2013 saya seperti mengikuti sebuah alur
perjalanan pendidikan yang aneh.
Nalar saya tak dapat memahami dan
daya imajinasi saya tidak dapat membayangkan seperti apa praktik
pembelajaran Kurikulum 2013 ini di kelas, bagaimana sistem evaluasinya,
dan betapa sibuknya guru karena bingung menerapkan Kurikulum 2013 di
kelas. Saya coba menemukan di mana letak keanehan dan kecanggungan ini.
Akhirnya saya menemukan satu penjelasan resmi tentang mengapa Kurikulum
2013 memang terasa aneh, di mana kompetensi inti (KI) dan kompetensi
dasar (KD) sepertinya dipaksa-paksakan. Alasan ini ada dalam pilihan
filsafat yang melandasi Kurikulum 2013, yaitu filsafat eklektisisme!
Dalam buku penjelasan tentang KI
dan KD untuk sekolah dasar tertulis, ”filosofi yang dianut dalam kurikulum adalah
eklektik”.
Aliran
filsafat lain juga disebutkan, seperti
1) Filsafat Eklektisisme
2) Filasafat Perenialisme,
3) Filsafat Esensialisme,
4) Filsafat Humanisme,
5) Fisafat progresifisme, dan
6) Filsafat Rekonstruktifisme sosial.
Karena filosofi yang dianut dalam
kurikulum adalah eklektik, seperti dikemukakan di bagian landasan
filosofi, nama mata pelajaran dan isi mata pelajaran untuk kurikulum yang
akan dikembangkan tidak perlu terikat pada kaidah filosofi esensialisme
dan perenialisme.
Saya yakin, kalau kita tanya
kepada para guru tentang aliran-aliran filsafat yang disebutkan dalam
penjelasan KI dan KD Kurikulum 2013, dapat dipastikan mereka tidak banyak
tahu tentang aliran-aliran filsafat itu. Jadi, penyebutan berbagai macam
aliran filsafat di atas tidak akan memiliki banyak arti bagi guru karena
mereka sebagian jarang berurusan dengan pemikiran filosofis seperti di
atas.
Arus Pemikiran Pendidikan :
Filsafat pendidikan perenialisme
atau tradisionalisme
·
pada intinya ingin mengatakan
bahwa prinsip-prinsip pendidikan yang fundamental, yang ada sekarang ini,
sesungguhnya telah ada dari dulu
·
Prinsip ini berlaku sepanjang
masa—di mana pun dan kapan pun—sebab telah teruji keampuhannya bagi
peradaban umat manusia.
·
Maka, tugas pendidikan
mewariskan prinsip-prinsip dasar pendidikan dan nilai-nilai kebajikan
yang berlaku universal kepada generasi kini dan yang akan datang agar
mereka dapat hidup secara bermartabat.
·
Fakta-fakta akan berubah,
tetapi prinsip pendidikan tetap.
·
Inilah yang harus diajarkan di sekolah.
Filsafat pendidikan esensialis
·
(sebaliknya) yakni ingin
mengajarkan hal-hal yang mendasar, tetapi tak fundamental, melainkan
esensial yang dibutuhkan peserta didik, berupa pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan agar mereka bisa hidup di dunia nyata.
·
Filsafat ini tidak
mengutamakan isi pengetahuan, tetapi mengajarkan keterampilan yang
dibutuhkan.
·
Dengan keterampilan ini,
siswa dapat hidup di masyarakat.
Filsafat humanisme
·
merupakan gerakan filsafat
yang muncul pada abad ke-14.
·
Filsafat ini ingin
mengembalikan dimensi manusia ideal yang ada dalam sastra klasik, di mana
pembelajaran kebudayaan dan bahasa klasik jadi salah satu sarana untuk
sampai pada pembentukan manusia ideal.
·
Filsafat humanisme dalam
pendidikan tetap mengutamakan materi, program, guru, dan metode
pembelajaran sebagai bagian utama pendidikan.
Filsafat pendidikan progresif
·
merupakan satu pendekatan yang menentang ketiga aliran di atas.
·
Filsafat progresif, yang
mulai muncul abad ke-19 dengan tokoh antara lain John Dewey, Ovide
Decroly, dan Maria Montessori.
·
Pendekatan ini oleh Dewey
disebut sebagai Revolusi Kopernikan dalam pedagogi.
·
Pusat pedagogi
tradisional, seperti dalam perenialisme, humanisme, dan esensialisme
adalah program studi, guru, disiplin ilmu, dan metode.
·
Dalam pedagogi pendidikan
baru ini terjadi perubahan pusat gravitasi, yaitu pada siswa.
·
Filsafat pendidikan progresif, sering kali disebut juga dengan
belajar melalui pengalaman langsung,
·
Tidak jarang menuai kritik karena pendekatannya yang terlalu berpusat
pada anak sehingga melepaskan konteks hidup anak di masyarakat.
·
Ia juga melulu
mengorientasikan pendidikan pada apa yang dibutuhkan anak.
Filsafat pendidikan sosial
rekonstruksionisme.
·
Garis besar filsafat
pendidikan social rekonstruksi : Masyarakat akan menjadi lebih baik kalau
kita juga mempersiapkan peserta didik agar mampu memperbarui tatanan
masyarakat yang ada menjadi lebih baik.
·
Filsafat pendidikan ini ingin
mengatakan bahwa masyarakat yang ada sekarang berada dalam keadaan krisis
sehingga model pendidikan mestinya melahirkan generasi pembaru sejarah.
·
Suatu generasi yang mampu
melahirkan individu guna mengubah tatanan masyarakat dengan pengetahuan,
keterampilan, dan kekuatan kehendaknya.
·
Kita tak cukup sekadar
membentuk individu jadi seorang yang cerdas dan berakhlak mulia, tetapi
juga seorang yang peduli, mau, dan mampu mengubah tatanan masyarakat yang
ada sekarang ini menjadi lebih baik, lebih adil, lebih manusiawi, dan
layak huni.
Kelemahan Eklektisisme
Filsafat eklektik
pada hakikatnya adalah ingin memilih yang terbaik dari banyak pendekatan.
Istilah ini
secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu eklektikos, yang artinya memilih atau menyeleksi.
Eklektik
adalah menggabungkan hal-hal yang berbeda, yang sebenarnya tidak cocok
satu sama lain, jadi satu mosaik tersendiri.
·
Pendekatan tidak melihat
bahwa hal-hal yang dipilih itu secara natural, fundamental, cocok dan
dapat diintegrasikan, tetapi sekadar menggabung-gabungkan apa yang baik
menjadi satu kesatuan.
·
Karena itu, pendekatan
eklektik sering kali dianggap sebagai pendekatan yang tidak elegan,
gabungan kompleks yang tidak jelas, jauh dari kesederhanaan berpikir
secara nalar, serta sering kali dianggap tidak memiliki konsistensi dalam
pemikiran.
Ø Inkonsistensi
pemikiran dan pemaksaan sebuah ide dalam sebuah sistem besar Kurikulum
2013 adalah sebuah keniscayaan karena pilihan pendesainnya bertumpu pada
filsafat eklektik.
Ø Karena
itu, tidak heran ketika bunyi salah satu butir KD dalam matematika adalah
seperti ini:”Menunjukkan perilaku patuh, tertib, dan mengikuti aturan
dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan sesuai secara efektif dengan
memerhatikan nilai tempat ratusan, puluhan, dan satuan.”
Inilah integrasi
antara pendidikan karakter dan matematika!
Ø Kerancuan
pemikiran filosofis dalam pendidikan, terutama saat mendesain kurikulum,
akan berdampak besar pada proses pembelajaran dan pengajaran, sistem
evaluasi, serta tercapai atau tidaknya proses pembelajaran seperti yang
dipaparkan dalam KD dan KI. Kita pasti tidak rela bila uang rakyat yang
besarnya Rp 2,4 triliun itu dipergunakan untuk sebuah perubahan kurikulum
yang digagas dalam ketergesaan, di mana potensi gagalnya lebih besar
daripada berhasilnya.
Ø Pilihan
filsafat eklektik tak lain adalah wujud kemalasan berpikir, simplifikasi
persoalan, dan pilihan jalan pintas paling gampang.
Ø Filsafat
eklektik dapat jadi jalan pintas rasionalisasi dan menghindar dari
tanggung jawab ketika terjadi berbagai macam persoalan; mulai dari
pilihan materi pengajaran, metode, sistem evaluasi, bahkan gagal dalam
eksekusinya. Sebab, semua hal bisa dijustifikasi dan dirasionalisasi
melalui pendekatan eklektik! ●
dengan perubahan
(bewe 7April 13)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar