Kliping tulisan
Komedi Pendidikan
KOMPAS, 25 November 2012
Rumongso Guru SD Djama’atul Ichwan,
Solo, Jawa Tengah
KOMPAS.com - Di samping tragedi pendidikan sebagaimana ditulis Sidharta
Susila, pendidik dari Muntilan, dua bulan lalu di rubrik ini, dunia pendidikan kita
juga menghasilkan komedi.
Komedi satir atas
dunia pendidikan di Indonesia muncul dalam banyak hal sehingga timbul dugaan
bahwa pemerintah tidak memiliki desain besar untuk mengelola dunia pendidikan.
Wacana demi wacana bermunculan tanpa ada eksekusi akhir yang komprehensif
sehingga tidak menimbulkan korban: guru, anak didik, dan masa depan bangsa.
Pendidikan karakter
Saat generasi muda
ditengarai kehilangan jati diri sebagai manusia Indonesia, pemerintah
memunculkan wacana pentingnya pendidikan karakter bagi anak didik. Guru diminta
menanamkan sikap dan budi pekerti yang luhur kepada anak didik: jujur,
disiplin, bertanggung jawab, cinta tanah air, kerja sama, dan seterusnya. Ini
lelucon yang tidak lucu sebab seolah-olah pemerintah mengabaikan peran membentuk
karakter anak didik. Sudah jadi tugas seorang guru menanamkan sikap dan budi
pekerti yang luhur kepada anak didik.
Guru dianggap tukang
sulap: mampu membuat sesuatu dalam sekejap. Ia juga dianggap tukang servis
mental bagi anak didik. Padahal, luntur, rapuh dan hilangnya jati diri serta
karakter anak didik bukan disebabkan kelalaian guru. Ini masalah sangat
kompleks dan tak dapat sepenuh- nya diserahkan kepada guru untuk menanganinya.
Memang tak dapat
dimungkiri bahwa guru berperan penting dalam memengaruhi karakter anak
didiknya. Yang harus diingat, dalam kurun 24 jam, anak-anak hanya sekitar enam
jam di bawah pengasuhan guru. Selebihnya anak-anak diasuh ”guru-guru lain”:
televisi, internet, lingkungan, teman sebaya.
Penetrasi televisi dan
internet demikian kuat. Pemerintah lupa dengan fungsinya memberi aturan yang
jelas dan tegas dalam kaidah bagi dunia pertelevisian dan internet. Gambaran
anak-anak sekolah, pergaulan remaja dalam sinetron di televisi yang tidak
berpijak pada akar budaya bangsa adalah salah satu bukti bahwa pemerintah gagal
menjalankan fungsinya melindungi anak-anak dari hal-hal buruk.
Jika aturan tegas
ditegakkan tanpa peduli terhadap kekuatan kekuasaan stasiun televisi, dalam
skala minimal anak-anak dapat diselamatkan dari pengaruh buruk hiburan di
televisi.
Lalu, pemerintah
mewacanakan pendidikan antikorupsi di sekolah dan akan jadi mata kuliah wajib
di perguruan tinggi. Ini juga komedi pendidikan. Dunia pendidikan selalu
mengajarkan sikap jujur kepada anak didiknya. Tak satu guru pun di muka bumi
ini yang tak menanamkan kebaikan kepada anak didiknya. Saya sudah puluhan tahun
sebagai guru. Anak didik saya yang masih usia SD adalah anak-anak yang lugu.
Semua budi baik yang saya tanamkan kepada mereka dilaksanakan. Saya yakin di
tingkat SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi, hal-hal itu selalu ditanamkan.
Masalah timbul
manakala mereka terjun di tengah-tengah masyarakat dengan ragam profesi. Ada
yang menjadi polisi, jaksa, hakim, advokat, pengusaha, atau pegawai negeri.
Jika ternyata ada di antara mereka yang berperilaku korup saat terjun di tengah
masyarakat, solusinya bukan lewat pendidikan antikorupsi di sekolah dan bangku
kuliah. Namun, lewat penegakan hukum yang jelas dan tegas kepada pelaku korupsi
itu.
Buat aturan yang
tegas, hukum berat koruptor, miskinkan koruptor, sita harta hasil korupsi
adalah salah satu cara mengatasi korupsi. Ketika hukum sedemikian ramah kepada
perilaku korup, jangan harap korupsi akan hilang dari bumi Indonesia meski anak
didik dijejali dengan pendidikan antikorupsi. Jika para koruptor dijatuhi
hukuman mati, maka tak usah dibentuk KPK. Tak ada gunanya kurikulum antikorupsi
dalam situasi kekinian Indonesia.
Pendidikan itu soal
hati. Yang paling penting adalah implementasi di lapangan. Di bangku kuliah
mahasiswa diajari pendidikan antikorupsi, tetapi saat mereka hendak menjadi
PNS, jaksa, hakim, polisi, semua harus lewat ”menyuap”. Bagi yang terjun
sebagai pengusaha: untuk sukses mendapat proyek, juga lewat cara-cara korup
dengan menyuap para pejabat. Logika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak
nyambung dengan realitas di lapangan. Kalangan pendidik harus dilibatkan dan
publik harus menguji keefektifan rencana itu.
Uji kompetensi
Komedi pendidikan yang
tidak lucu berikutnya adalah mengenai uji kompetensi guru (UKG) yang membuat
jantung guru berdetak keras. Apa urgensi pemerintah melaksanakan UKG bagi guru
yang sudah sertifikasi?
Pemerintah seolah-olah
ragu dengan langkah yang dilakukan dalam program sertifikasi. Pemerintah
sendiri yang menentukan parameter sertifikasi, panduan sertifikasi, mekanisme
sertifikasi. Semua sudah berjalan lancar. Lalu pemerintah mengeluarkan
kebijakan UKG setelah melihat tidak ada perubahan kompetensi guru antara
sebelum dan sesudah sertifikasi. Komedinya tak lucu.
Rumongso Guru SD
Djama’atul Ichwan, Solo, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar