Kamis, 03 Juli 2014

Krisis moral bangsa.kompas



Krisis Moral Bangsa
Tajuk Rencana Kompas, Kamis, 03 Juli 2014




gambar : wejangan.com 


“Penegakan hukum dan upaya pendidikan karakter perlu dibarengi
keteladanan pejabat public”


TAK adanya rasa penyesalan dari tervonis seumur hidup Akil Mochtar, mantan Ketua MK, menguatkan premis terjadinya kemerosotan moralitas pejabat.
 

Sikap Akil mungkin mewakili hampir semua pelaku, terduga, tersangka, terdakwa, terpidana korupsi, apalagi yang kelas kakap. Sikap itu menjadi faktor tambahan kesulitan kita mau meyakin-yakinkan diri bahwa korupsi itu bukan budaya. Kenyataannya, korupsi di Indonesia setelah Reformasi semakin masif, bertali-temali, dan merata. Ketika ada pelaku korupsi dan penyalah guna wewenang tertangkap, yang lainnya berkomentar "kurang pinter, sih", sementara pelakunya merasa "sedang apes".



gambar : civicitgroup.wordpress.com

Penegakan hukum yang tegas tanpa kecuali, pesan almarhum Daniel Lev di awal Reformasi 1998, kehilangan mantra. Pemerintah petahana pada awal pemerintahannya menggebrakkan tekad "berantas korupsi", KPK yang kinerjanya kita apresiasi tinggi, kegiatan ritual keagamaan meriah, tetapi korupsi tidak juga surut.

Tontonan tersangka, terpidana kasus korupsi ibarat selebritas karbitan. Memuakkan. Dengan celah hukum bagi koruptor yang berdalih perlindungan HAM—terpidana kasus korupsi paling berat dihukum seumur hidup—adanya sosok pejabat teladan nirkorup bisa dihitung jari.

Dalam konteks di atas, dunia yang semakin pragmatis, hedonistis, machiavellis, dan materialistis hanyalah pembenar terjadinya kemerosotan moral bangsa. Tak perlu ada yang disalahkan, kecuali tekad kita mendengarkan nurani sehingga etika dan moral mampu mengontrol nafsu kebinatangan.

Ketika tak ada rasa bersalah dan rasa malu, apalagi menyesal, koruptor—apalagi pejabat publik yang karena jabatannya lebih punya kewenangan besar—perlu kita akui bangsa ini, kita mengalami kemerosotan moral akut. Penegakan hukum dan upaya pendidikan karakter perlu dibarengi keteladanan pejabat publik. Penghayatan agama perlu dikembangkan tidak hanya sebagai kesalehan ritual, tetapi kesalehan sosial. Kejahatan korupsi itu kejahatan luar biasa, yang merusak.

Revolusi mental yang belum lama ini dikemukakan Joko Widodo menawarkan cara berpikir radikal. Upaya ini bisa terlaksana kalau ada beberapa langkah dilakukan serentak. Langkah itu adalah penegakan hukum tanpa kecuali, dukungan politis dan moral penegak hukum, khususnya KPK, keteladanan pejabat—selain pendidikan karakter—dan pemiskinan koruptor jangan sekadar wacana.

Kalau kejahatan korupsi terbiarkan dan dilecehkan sebagai hal biasa, kita "berdosa" menanamkan benih dan pupuk generasi koruptor yang berlapis-lapis. Korupsi jadi budaya, tidak lagi wacana, tetapi hasil peradaban. Korupsi tidak lagi kejahatan, tetapi bagian dari strategi menang perang. Krisis moral berlanjut, bahkan makin menjadi-jadi. Kita bangun kesadaran bersama tentang krisis moral kita, dengan kasus korupsi yang dianggap sebagai sesuatu yang biasa, yang sudah taken for granted.

Sumber : Kritik bagi pemimpin. Linkis.com
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007630314
Powered by Telkomsel BlackBerry®


Tidak ada komentar:

Posting Komentar