Rabu, 18 Februari 2015

Setelah Sekolah Tanpa UN, Kompas



Setelah Sekolah Tanpa UN
TAJUK RENCANA KOMPAS, Kamis, 29 Januari 2015


 Gambar : Kompas image

“Praksis pendidikan tidak terutama berpangkal pada ujian, tetapi proses”.



 KITA dukung keputusan ujian nasional tidak lagi jadi penentu kelulusan siswa. Keputusan itu perlu diikuti kebijakan bahwa evaluasi tetap penting. Ujian nasional (UN) terus menuai pro dan kontra. UN diberlakukan setelah ujian sekolah (US) dihapus. 
Alasan dan latar belakangnya mirip. Di antaranya mengatasi berbagai faktor psikologis peserta, kecurangan, dan biaya tinggi. Berbeda dengan UN sebelum tahun 1971, diselingi US beberapa tahun, UN dihadapi biasa-biasa saja.

Sepakat penilai evaluasi paling ideal adalah sekolah, itu berarti guru. Dalam praksis pendidikan semasa UN, yang dinilai hanya satu aspek pendidikan, yakni aspek kognitif. Itu pun hanya dipilih beberapa mata pelajaran, sejumlah mata pelajaran pokok dan penting yang menyasar aspek kognitif dan komunikatif, minus pembentukan karakter. Sejalan dalam alur serba permisif dan pragmatis, mendahulukan hasil daripada proses, wacana sisi negatif UN pun lebih berkembang dibandingkan sisi positifnya.

Keputusan penghapusan UN melegakan, sekaligus menyisakan pekerjaan rumah, khususnya kementerian teknis Dikbud: mencegah berkembangnya kecenderungan dalam konteks pragmatisme masyarakat. Pragmatisme, antara lain, berupa kemudahan sekolah meluluskan, merosotnya motivasi siswa—dampak negatif yang pada gilirannya ikut andil dalam kemerosotan mutu bangsa.

Agar spekulasi di atas tidak terjadi, perlu diselenggarakan praksis pendidikan yang kondusif-produktif. Praksis pendidikan tidak terutama berpangkal pada ujian, tetapi proses. Agar praksis berjalan baik, tiga hal perlu dipenuhi, menyangkut kemampuan, kesempatan, dan intensivitas belajar. Ketiganya saling berkelindan.

Dalam hal evaluasi, relevan menerapkan model Warren Piper tentang kualitas manajemen pendidikan (1993). Yang perlu terus dikembangkan adalah murid, guru, dan lembaga pendidikan. Ketiganya bersifat simbiosis mutualisme dalam mengembangkan efektivitas praksis pendidikan. Evaluasi atau penilaian praksis belajar yang ideal didasarkan atas penilaian ketiga pihak tersebut. Evaluasi pun harus dilakukan dari waktu ke waktu.

UN tidak ideal, apalagi kemudian ditetapkan pula sebagai sarana pemetaan mutu siswa dengan kondisi yang serba beragam seperti Indonesia. Ideal UN sekadar keharusan perlunya dicapai standardisasi minimal kurikulum, yang memang harus dihasilkan setiap jenjang pendidikan. Dan, ketika nafsu pragmatis dan permisif dominan, UN semakin tidak sah menjadi pertanda keberhasilan.



Agar keputusan Menteri Anies Baswedan efektif dan produktif, 
perlu ditindaklanjuti sejumlah perubahan mendasar, mengacu pada tetap perlunya KTSP berstandar nasional dan prinsip manajemen berbasis sekolah.

Praktisnya, agar evaluasi hasil dirasakan menyatu dengan proses, evaluasi perlu dilakukan terus-menerus.



Dalam hal ini, peranan penilik sekolah bidang pendidikan sangat sentral dan strategis, yang perlu diberi pisau lebih tajam.


Sumber :
Kompas, Kritik Bagi Pemimpin, doa-bagirajatega.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar