Kamis, 03 Januari 2013

Jual sate kambing tua


Jual 
sate kambing tua



Satu ons kesan berharga satu ton persepsi”
(tidak dikenal )

Pada liburan natal 2012 kemarin, kami sekeluarga berkunjung ke rumah orang tua di Klaten, Jawa Tengah. Di sana  kami bertemu sanak keluarga kami dari kota  yang lain. Memang ada 2 kakak  kami yang berhalangan ‘pulang’  Klaten. Tak terasa saya sudah di panggil dengan sebutan ‘mBah kung’, karena keponakan saya sudah menikah dan mempunyai seorang bayi. Dalam peretemuan keluarga besar  biasa kami ngobrol tentang apa saja , khususnya cerita masa lampau. Sore hari kami  ngobrol di ‘buk’ depan, keponakan kami yang sudah menikah,  cerita yang bernuansa ‘protes’.

 Dina bercerita saat dulu merasa  ‘dibohongi saya, omnya. Memang dulu saya sering  antar 2  keponakan, Dina dan Andi masih sekolah SD,  pulang dari Klaten ke rumahnya di daerah Sukoharjo naik sepeda motor. Saat tengah perjalanan sekitar daerah Pakis,Klaten, pulang ke daerah Ciu, sukoharjo,  Dina merasa lapar sedangkan  adiknya, Andi,  merasa haus. “ Om,  makan dulu om, lapar nih!” kata Dina. “ yah Om, Andi juga haus nich!...” kata Andi adiknya. “ berhenti dulu om, cari makanan dan minum, om!..” kata mereka dengan wajah memelas karena kelaparan dan kehausan.  Saya berpikir uang yang ada pasti tidak cukup untuk makan dan minum kami bertiga,  tapi keponakan minta makan dan minum. Pusing juga saya menjawabnya, sambil tetap mengendarai sepeda motor. Ah…. saya dapat akal, “ Entar kamu lihat kalau ada yang jual sate kambing tua atau ada yang jual  es kelapa tua, kita berhenti untuk makan dan minum”, kata saya sekenanya. Mereka berdua bersemangat melototi warung-warung di sepanjang jalan yang bertuliskan ‘Jual sate kambing tua’ atau ‘jual es kelapa tua’. Rasa ngantuk mereka menjadi hilang dan bersemangat lagi. Saya di’untungkan’ karena tidak merasa berat saat boncengin orang yang ngantuk  dan  resiko jatuh karena ngantukpun berkurang. Lancarlah perjalanan kami hingga rumah di Sukoharjo. Tiba di rumah, Anin dan Andik bertanya kepada papa dan mamanya, karena sepanjang jalan tadi tidak ada yang jual sate tua dan air kelapa tua. “ Pa …ma… di mana ada warung yang jual sate kambing tua atau air es kelapa tua? ‘ kata mereka serentak. Mendengar pertanyaan tersebut kakak saya langsung paham bahwa omnya mengarang cerita karena tak punya uang cukup. Sambil tersenyum dan menepuk pundak kedua anaknya,  kakak  saya  berkata, “ Tidak ada orang jual sate kambing tua atau  air es  kelapa tua, yang ada jual sate kambing muda dan jual air es kelapa muda”.     Kemudian ia melanjutkan, “ Om tidak berbohong, karena om tidak membawa uang cukup untuk makan dan minum, serta  tidak tega menjawab ‘tidak’, maka om ‘mengarang’ seperti itu”. Sontak keponakan saya ‘memukuli’ saya sambil tersenyum dan meledekin saya ……. Kemudian kami semua tertawa mendengar cerita yang sangat runtut dari keponakan kami tersebut. Yah…. cerita tadi sangat ‘menghibur’ saat kami sekeluarga bertemu seperti ini

Dalam pendidikan

Dalam hati saya bertanya, “hebat benar keponakanku ini sampai mengingat secara detail kejadian yang sudah puluhan tahun yang lalu’, bukan 'karangan/kebohongan' yang ingin saya angkat, tapi pengalaman yang telah menjadi 'milik' diri  Saya berandai-andai bila saya mengajar, saya mampu menggunakan pengalaman-pengalaman siswa berarti saya sebagai guru hanya membantu dalam proses pembentukan tersebut.  Dari peristiwa tadi saya teringat teori pendidikan menurut Peter l Berger (1996) pada hakikatnya “ manusia memproduksi dirinya sendiri melalui pengalaman dalam realita social”. Sebagai pendidik (orang tua maupun guru ) hendaknya mampu menciptakan pengalaman-pengalaman belajar melalui peristiwa-peristiwa sosial yang beraneka ragam. Sehingga anak mampu menemukan jalan keluarnya sendiri. Menurut Renald Kasali, sebagai pendidik yang baik justru bercerita tentang kehidupan (context) yang didiami anak didik. Bagi mereka memory tak hanya ada di kepala, melainkan ada di seluruh tubuh manusia. Memory manusia yang kedua ini dalam biologi dikenal sebagai Myelin dan para neuroscientist modern menemukan myelin adalah lokomotif penggerak (muscle memory). Di dalam ilmu manajemen, myelin adalah faktor pembentuk harta tak kelihatan (intangibles) yang sangat vital seperti gestures, bahasa tubuh, kepercayaan, empathy, ketrampilan, disiplin diri, dan seterusnya.

Sebagai pendidik saya menyakini benar apa yang pernah dikatakan ST Kartono  bahwa sarana paling efektif dalam mendidik anak-anak kita adalah pengalaman nyata, bukan simulasi, pun bukan rekayasa. Kaum konsstruktovisme di bidang pendidikan berpandangan bahwa kegiatan belajar adalah kegiatan siswa yang aktif membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari sendiri makna yang mereka pelajari. Siswa sendiri yang menyusun penalaran atas pengalaman yang telah dipelajari, membandingkannya sendiri dengan apa yang telah dipelajarinya. Saya teringat  bagaimana anak saya mampu menegur saya, sebagai orang tua, karena meletakan sepatu, sandal atau barang lainnya tidak pada tempatnya. “ Papa tidak tertib”, kata Alfons anak saya yang sulung sambil dia sendiri meletakkan pada tempatnya. Karena waktu kecil sering melihat kami orang tuanya meletakan sepatu sandal dan barang  lainnya pada tempatnya. Kami memang menyediakannya serta  istri selalu memberikan tuntunan meletakan barang pada tempatnya, kemudian anak meniru secara berulang-ulang, sehingga kegiatan tersebut anak menemukan pengalaman belajar sendiri. Atau si kecil, Christo, setiap mau pergi, mengingatkan saya menutup  dan merapikan sesuatu sebelum pergi, “ tutup dulu!....kembalikan dulu!” katanya.

Mendidik anak memang perlu kreativitas dari kita sebagai orang tua, kita harus mampu menghadirkan dan menciptakan suasana yang akan menjadi pengalaman belajar. Tugas kita hanya membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan tersebut. Mari kita damping anak kita, di sekolah maupun anak kita di rumah, dengan menciptakan pengalaman belajar, meskipun untuk itu kita harus mau repot.

Bacaan :
1.      Renald Kasali, “Dua Jenis Guru “ Koran Sindo 5 Mei 2011.
2.      ST. Kartono, “Menjadi guru untuk muridku”, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,2011
3.    Utomo Dananjaya, “ Media Pembelajaran Aktif”,Penerbit Nuansa, Bandung,2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar