Selasa, 27 November 2012

Komedi pendidikan


Kliping tulisan
Komedi Pendidikan



KOMPAS, 25 November 2012
Rumongso Guru SD Djama’atul Ichwan, Solo, Jawa Tengah


KOMPAS.com - Di samping tragedi pendidikan sebagaimana ditulis Sidharta Susila, pendidik dari Muntilan, dua bulan lalu di rubrik ini, dunia pendidikan kita juga menghasilkan komedi.
Komedi satir atas dunia pendidikan di Indonesia muncul dalam banyak hal sehingga timbul dugaan bahwa pemerintah tidak memiliki desain besar untuk mengelola dunia pendidikan. Wacana demi wacana bermunculan tanpa ada eksekusi akhir yang komprehensif sehingga tidak menimbulkan korban: guru, anak didik, dan masa depan bangsa.

Pendidikan karakter
Saat generasi muda ditengarai kehilangan jati diri sebagai manusia Indonesia, pemerintah memunculkan wacana pentingnya pendidikan karakter bagi anak didik. Guru diminta menanamkan sikap dan budi pekerti yang luhur kepada anak didik: jujur, disiplin, bertanggung jawab, cinta tanah air, kerja sama, dan seterusnya. Ini lelucon yang tidak lucu sebab seolah-olah pemerintah mengabaikan peran membentuk karakter anak didik. Sudah jadi tugas seorang guru menanamkan sikap dan budi pekerti yang luhur kepada anak didik.
Guru dianggap tukang sulap: mampu membuat sesuatu dalam sekejap. Ia juga dianggap tukang servis mental bagi anak didik. Padahal, luntur, rapuh dan hilangnya jati diri serta karakter anak didik bukan disebabkan kelalaian guru. Ini masalah sangat kompleks dan tak dapat sepenuh- nya diserahkan kepada guru untuk menanganinya.
Memang tak dapat dimungkiri bahwa guru berperan penting dalam memengaruhi karakter anak didiknya. Yang harus diingat, dalam kurun 24 jam, anak-anak hanya sekitar enam jam di bawah pengasuhan guru. Selebihnya anak-anak diasuh ”guru-guru lain”: televisi, internet, lingkungan, teman sebaya.
Penetrasi televisi dan internet demikian kuat. Pemerintah lupa dengan fungsinya memberi aturan yang jelas dan tegas dalam kaidah bagi dunia pertelevisian dan internet. Gambaran anak-anak sekolah, pergaulan remaja dalam sinetron di televisi yang tidak berpijak pada akar budaya bangsa adalah salah satu bukti bahwa pemerintah gagal menjalankan fungsinya melindungi anak-anak dari hal-hal buruk.
Jika aturan tegas ditegakkan tanpa peduli terhadap kekuatan kekuasaan stasiun televisi, dalam skala minimal anak-anak dapat diselamatkan dari pengaruh buruk hiburan di televisi.
Lalu, pemerintah mewacanakan pendidikan antikorupsi di sekolah dan akan jadi mata kuliah wajib di perguruan tinggi. Ini juga komedi pendidikan. Dunia pendidikan selalu mengajarkan sikap jujur kepada anak didiknya. Tak satu guru pun di muka bumi ini yang tak menanamkan kebaikan kepada anak didiknya. Saya sudah puluhan tahun sebagai guru. Anak didik saya yang masih usia SD adalah anak-anak yang lugu. Semua budi baik yang saya tanamkan kepada mereka dilaksanakan. Saya yakin di tingkat SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi, hal-hal itu selalu ditanamkan.
Masalah timbul manakala mereka terjun di tengah-tengah masyarakat dengan ragam profesi. Ada yang menjadi polisi, jaksa, hakim, advokat, pengusaha, atau pegawai negeri. Jika ternyata ada di antara mereka yang berperilaku korup saat terjun di tengah masyarakat, solusinya bukan lewat pendidikan antikorupsi di sekolah dan bangku kuliah. Namun, lewat penegakan hukum yang jelas dan tegas kepada pelaku korupsi itu.
Buat aturan yang tegas, hukum berat koruptor, miskinkan koruptor, sita harta hasil korupsi adalah salah satu cara mengatasi korupsi. Ketika hukum sedemikian ramah kepada perilaku korup, jangan harap korupsi akan hilang dari bumi Indonesia meski anak didik dijejali dengan pendidikan antikorupsi. Jika para koruptor dijatuhi hukuman mati, maka tak usah dibentuk KPK. Tak ada gunanya kurikulum antikorupsi dalam situasi kekinian Indonesia.
Pendidikan itu soal hati. Yang paling penting adalah implementasi di lapangan. Di bangku kuliah mahasiswa diajari pendidikan antikorupsi, tetapi saat mereka hendak menjadi PNS, jaksa, hakim, polisi, semua harus lewat ”menyuap”. Bagi yang terjun sebagai pengusaha: untuk sukses mendapat proyek, juga lewat cara-cara korup dengan menyuap para pejabat. Logika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak nyambung dengan realitas di lapangan. Kalangan pendidik harus dilibatkan dan publik harus menguji keefektifan rencana itu.

Uji kompetensi
Komedi pendidikan yang tidak lucu berikutnya adalah mengenai uji kompetensi guru (UKG) yang membuat jantung guru berdetak keras. Apa urgensi pemerintah melaksanakan UKG bagi guru yang sudah sertifikasi?
Pemerintah seolah-olah ragu dengan langkah yang dilakukan dalam program sertifikasi. Pemerintah sendiri yang menentukan parameter sertifikasi, panduan sertifikasi, mekanisme sertifikasi. Semua sudah berjalan lancar. Lalu pemerintah mengeluarkan kebijakan UKG setelah melihat tidak ada perubahan kompetensi guru antara sebelum dan sesudah sertifikasi. Komedinya tak lucu.

Rumongso Guru SD Djama’atul Ichwan, Solo, Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar